Kamis, 31 Desember 2009

Manichaenisme di China

Manichaenisme di China
Ivan Taniputera
(1 Januari 2010)

Tulisan singkat ini disarikan dari buku berjudul Chinese Civilization karya Werner Eichhorn, halaman 196 – 197. Manichaenisme adalah agama yang kini sudah punah dan berasal dari Persia. Inti sari ajarannya adalah fusi antara Kekristenan, Zorastrianisme, dan Buddhisme. Agama ini masuk ke Tiongkok semasa pemerintahan Dinasti Tang (618 – 906). Yang pembawanya adalah para pedagang yang datang ke Tiongkok melalui jalur sutera. Para pengikut Manichaenisme yang datang ke Tiongkok memperoleh penghargaan istana karena kemampuan mereka dalam astronomi, sehingga dapat menyelesaikan perdebatan yang terjadi antara para penyusun almanak kerajaan.Kaisar Dinasti Tang memberikan toleransi yang besar bagi agama ini dan juga agama lainnya. Kemajuan lain yang dicapai agama ini adalah masuknya salah seorang khan suku Uighur ke agama Manichaenisme. Saat itu, bangsa Uighur memang sedang menanjak pamornya dan bersamaan dengan ini Manichaenisme memperoleh peran yang cukup penting, termasuk dalam bidang politik. Meskipun demikian, dalam kurun waktu pertengahan abad ke-9, kekuatan imperium Uighur mulai menurut, sehingga antara tahun 840 – 843 berlaku penganiayaan terhadap Manichaenisme. Akibatnya, komunitas Manichaenisme mulai punah. Apalagi setelah tahun 845, yang merupakan puncak penganiayaan terhadap hampir seluruh agama asing di Tiongkok semasa Dinasti Tang.
Kendati demikian, Manichaenisme tidaklah punah sama sekali, karena pada masa Dinasti Song (960 – 1279) telah berdiri kuil-kuil agama tersebut walau jumlahnya tidak banyak. Selain itu terdapat pula serikat rahasia Manichaenisme, yang “berkumpul pada malam hari dan bubar lagi di pagi harinya.” Menurut laporan, para penganut Manichaenisme hanya makan sekali sehari (sore hari), bervegetarian, serta menjauhkan diri dari minum keras, mentega, dan susu.
Hal menarik adalah beberapa elemen Manichaenisme masuk dalam dalam agama-agama asli Tiongkok, seperti Daoisme. Bahkan terdapat pula peneliti yang mengatakan bahwa jejak-jejak Manichaenisme dapat pula dijumpai dalam Buddhisme Tiongkok. Para mengikut Manichaenisme memasukkan perhitungan minggu yang terdiri dari tujuh hari, dimana ini diambil dari planet2 yang dikenal masa itu (matahari, bulan, Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, dan Saturnus). Bahkan, di propinsi2 sebelah timur, dalam almanak lokal hari Minggu disebut dengan istilah mi. Istilah ini berasal dari kata bahasa Sogdian mir, yang berarti matahari. Selain itu, ada pendapat bahwa nama Dinasti Ming (1368 – 1644) juga berasal dari Manichaenisme.
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta di atas, pengaruh penting Manichaenisme di Tiongkok tidaklah dapat diabaikan sama sekali. Hingga saat ini, masih sedikit penelitian yang mengulas secara mendalam perkembangan Manichaenisme di China. Buku-buku yang ada hanya mengulas secara singkat perkembangan Manichaenisme. Belum terdapat telaah mendalam yang berupaya menggali lagi pengaruh-pengaruh Manichaenisme dalam agama-agama di Tiongkok. Oleh karena itu, riset dalam bidang ini masih sangat kaya dan menarik.

Sumber:
Eichhorn, Werner. Chinese Civilization, Faber & Faber limited, London, 1969.