Minggu, 18 September 2011

Riwayat Kehidupan Tionghua Perantauan di Kawasan Selat Malaka

Riwayat Kehidupan Tionghua Perantauan di Kawasan Selat Malaka

Ivan Taniputera
16 September 2011



Judul buku : The Manners and Customs of the Chinese of the Straits Settlements: With and Introduction by Wilfred Bythe

Penulis : J. D. Vaughan

Jumlah halaman : 126

Penerbit : Oxford University Press, 1971.

Buku ini meriwayatkan mengenai kehidupan keturunan Tionghua di Singapura pada sekitar abad ke-19. Sebenarnya, buku ini sudah pernah diterbitkan pada tahun 1879, namun diterbitkan ulang oleh Oxford University Press. Sebagai pembukaan diriwayatkan kebiasaan dan tradisi keturunan Tionghua di zaman itu. Sebelumnya, dipaparkan komposisi penduduk Singapura pada kurang lebih akhir abad ke-19; yakni: 200.000 Melayu, 20.000 Keling, dan 150.000 Tionghua (halaman 1). Nampaknya ketiganya masih merupakan kelompok-kelompok etnis terpenting di Singapura pada zaman modern. Vaughan lebih jauh lagi menyebutkan bahwa kaum keturunan Tionghua di Singapura:

They are most active, industrious, and persevering of all. They equal or surpass the Europeans in developing the resources of the Colony in particular and the Indian Archipelago in general. Many have amassed large fortunes, and raised themselves high in the estimation of their fellow citizens... (halaman 2).

Vaughan menyebutkan bahwa orang Tionghua yang lahir di Straits (Singapura) disebut Baba guna membedakan mereka dengan orang Tionghua yang lahir di daratan Tiongkok. Hal unik yang patut disebutkan di sini, Vaughan menyitir mengenai hukum di Tiongkok yang kala itu dikuasai dinasti Qing, yakni bahwa rakyat Tiongkok harus menguncir rambut mereka. Meskipun demikian, anehnya orang Tionghua peranakan Singapura yang seharusnya bebas dari hukum Qing tetap mati-matian mempertahankan kuncirnya:

One would imagine that Babas that the Babas, and the natives of China themselves, when they got away from thraldom of their Tartar rulers, would glady avail themselves of their liberty and discard their queues, but such IS NOT THE CASE (huruf besar oleh peresensi); you can offer no greater insult to a Baba that to cut his tail off, or even to threaten to do so (halaman 3).

Kaum peranakan yang telah lahir di Singapura, tidak punya keinginan lagi mengunjungi negeri leluhurnya, dan tak menganggapnya sebagai kampung halaman mereka (halaman 3). Dalam buku ini diungkapkan pula mengenai tata cara berpakaian kaum keturunan Tionghua Singapura:

The clothing of a Chinaman whatever his rank in life may be, differs little from the description above given of the dress of a Sinkeh. Add to the trowsers along jacket of coat called a Baju, and a pair of thick soled shoes, and you have the toilet of a gentleman. The swell Baba rejoices sometimes in patient leather shoes and a felt or straw hat; but as a rule the dress of a Chinaman is exceedingly simple and economical and well adapted to the exigencies of the climate.... (halaman 11).

Pekerjaan keturunan Tionghua Singapura sangatlah beraneka ragam:

The Chinese are everything; they are actors, acrobats, artists, musicians, chemists, and druggist, clerks, cashiers, engineers, architects, surveyors, missionaries, priests, doctors, schoolmasters, lodging house keepers, butchers, porksellers, cultivators of pepper and gambier...... (halaman 15)

Selanjutnya disebutkan daftar pekerjaan lainnya yang hampir menghabiskan satu halaman!

Buku ini memaparkan pula tradisi yang dilakukan dalam berbagai peristiwa kehidupan, seperti kelahiran bayi (halaman 29-30):

On the birth of a child the date of birth is written on a slip of red paper which is carefully preserved. At the birth of the first male child the two candles first sent by the husband are lighted....

Lalu dibahas mengenai tradisi pemakaman (30-34), penghormatan bagi orang yang telah meninggal (35-36), kebiasaan di rumah tangga (36-43), dan lain sebagainya. Dipaparkan pula perayaan-perayaan serta festival yang kerap dirayakan oleh kaum keturunan Tionghua Singapura. Tidak ketinggalan pula digambarkan mengenai kuil Tionghua di Singapura, seperti The Hokkien Temple at Singapore (halaman 53-59) dan The Chinese Temple at Penang (halaman 59-61).

Pada zaman itu, masih banyak keturunan Tionghua yang menghisap candu (halaman 61-63), berjudi (halaman 63-65). Halaman-halaman selanjutnya membahas mengenai permainan yang umum di kalangan Tionghua Singapura, seperti Poh dan Mat. Berikutnya masih ada lagi permainan kartu, yang di Indonesia dikenal sebagai kartu ceki, serta satu permainan lagi yang membutuhkan 116 kartu. Sayangnya tidak dijelaskan bagaimana cara bermain kartu tersebut. Masih banyak hal yang diulas buku ini, seperti masalah pendidikan kaum Tionghua Singapura. Buku ini patut dibaca oleh mereka yang tertarik dengan sejarah kaum Tionghua perantauan (overseas Chinese).

CATATAN: Straits di sini berarti “Selat” dan sebenarnya tidak hanya mengacu pada Singapura saja, melainkan juga kawasan di Selat Malaka.