Rabu, 08 Februari 2012

Sejarah Daoisme Selayang Pandang

Sejarah Daoisme Selayang Pandang

Ivan Taniputera (6 Agustus 2006)

Pada kesempatan kali ini kita akan mencermati tahapan-tahapan perkembangan Daoisme yang terjadi sepanjang sejarah Tiongkok. Adapun pembahasannya dibagi berdasarkan dinasti-dinasti yang silih berganti.

1.Perkembangan keagamaan semasa Dinasti Shang

Dinasti Shang mengenal adanya kelas pendeta (shaman) yang bertujuan untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur ataupun para dewa. Dalam legenda Tiongkok kuno terdapat para penguasa yang disebut dengan “Tiga Raja dan Lima Kaisar” (sanhuang wudi). Apa yang dimaksud dengan sanhuang wudi ini telah kita bahas di atas, sehingga tidak akan diulas panjang lebar di sini.
Rakyat Shang mengembangkan suatu kepercayaan politeistik yang terdiri dari berbagai makhluk dewa dan setengah dewa (seperti di Yunani kuno). Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayan dinasti berikutnya yang tidak lagi bersifat politeistik dan lebih menekankan pemujaan terhadap Langit. Ini nampak nyata dalam ungkapan Konfusius bahwa masyarakat Shang memuja guishen (gui artinya hantu dan shen berarti dewa) yang dapat diartikan sebagai roh-roh alam, sedangkan masyarakat Zhou menghormati tetapi menjaga jarak terhadap mereka.

2.Para ahli filsafat Daois semasa Zaman Dinasti Zhou

a. Laozi


Perbedaan utama antara Konfusius dan Laozi adalah dalam segi riwayat hidupnya yang masih diselubungi kegelapan sejarah. Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai riwayat hidup ahli filsafat yang bernama asli Li Er ini. Sejarawan terkemuka Tiongkok bernama Sima Qian yang menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, Laozi berasal dari desa Churen, propinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibu kota Loyang dari Kerajaan Chu. Marga Laozi adalah Li sedangkan nama panggilannya adalah Er. Beliau sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Zhou. Sebagai seorang ahli perpustakaan, ia memiliki kesempatan untuk membaca literatur-literatur klasik sehingga pada akhirnya juga dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang perbintangan serta peramalan.
Tatkala usianya telah lanjut, Laozi mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai ahli perpustakaan kerajaan untuk mengasingkan diri. Saat hendak meninggalkan ibu kota, seorang penjaga gerbang bernama Lin Yixi menghentikan langkahnya, serta meminta agar dituliskan sebuah kitab. Permintaan ini diluluskan oleh Laozi. Ia menuliskan sejilid kitab singkat yang hanya terdiri dari 5000 huruf Tionghua dan setelah itu menyerahkannya pada sang penjaga gerbang. Laozi meninggalkan ibu kota dan tidak pernah terdengar kembali kabar beritanya. Kitab singkat yang berjudul Daodejing itu, untuk selanjutnya menjadi kitab pegangan bagi para penganut Daoisme.
Berbeda dengan penganut Konfusianisme, Dao menurut Daodejing diartikan secara metafisik, yakni sebagai bahan dasar penyusun segala sesuatu. Dao bersifat sederhana dan tanpa bentuk, tanpa keinginan, tanpa nama, serta tanpa gerakan ataupun daya upaya. Dao ini telah ada sebelum adanya langit dan bumi. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin jauh diri manusia dari Dao, sehingga semakin berkuranglah kebahagiaannya. Daodejing mengatakan:

Dao adalah bagaikan bejana yang meskipun hampa
Dapat ditimba tanpa hingga
Dan tiada berguna untuk mencoba mengisinya
Begitu luas dan dalamnya
Hingga nampak sebagai yang tertua dari yang ada
Bila terbenam di dalamnya, maka ujung yang paling tajam akan menjadi rata
Masalah tersulit akan sirna
Cahaya gemilang penebar kebahagiaan
Segala yang tak mungkin kembali menjadi sesuatu yang sederhana
Ia adalah setenang alam kematian
Aku tak mengetahui putera siapakah ia .



Berdasarkan kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Dao bagi penganut Daoisme merupakan sesuatu yang asali sebelum tercemari oleh pikiran-pikiran bentukan manusia. Oleh karena bersifat asali, ia bersifat alami pula dan bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikian orang yang menjalankan Dao akan menghindari banyak lagak dan mementingkan kesederhanaan serta kewajaran. Kitab Daodejing mengajarkan kembali bagaimana cara hidup sederhana secara wajar:

Sepuluh ribu hal telah terjadi
Dan kusimak semuanya kembali
Betapapun terjadi kesemarakan yang semakin tinggi
Masing-masing pada akhirnya akan berpulang pada kondisi asali
Kembali pada kondisi asali ini berarti mencapai kedamaian abadi
Itulah kedemikianan segala sesuatu
Kedemikian itu merupakan suatu pola tanpa akhir
Memahami pola tanpa akhir itu berarti mencapai pencerahan
Barangsiapa yang tak memahaminya akan kering dan layu oleh musibah
Yang mengenal pola abadi ini akan mencakupi segalanya
Mencakupi segalanya dengan sikap adil sempurna
Adil sempurna menjadikannya seorang penguasa
Seorang penguasa menjadi sama dengan para dewa
Serupa dengan para dewa berarti sejalan dan sehati dengan Dao
Sejalan dan sehati dengan Dao berarti satu dengan Dao itu sendiri, ia tak terbinasakan
Meskipun tubuhnya dapat lenyap ditenggelamkan samudera kehidupan
[Tetapi] akanlah ia luput dari segenap gangguan .

Dari kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Dao mengajarkan manusia untuk menyelaraskan diri dengan hukum hakiki alam semesta. Terlalu memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang berada di luar jangkauannya adalah suatu kesalahan.

b. Zhuangzi dan Liezi

Setelah zaman Laozi, terdapat banyak ahli filsafat terkenal lainnya yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan Daoisme seperti Zhuangzi (369 SM – 286 SM) dan Liezi (abad 4 SM). Dengan adanya kedua ahli filsafat tersebut, Daoisme memasuki tahapan baru. Terdapat perbedaan ajaran-ajaran mereka dengan Daoisme yang lebih awal ataupun filsafat yang terdapat dalam Daodejing.
Sebelumnya keterlibatan seseorang di dalam politik masih dimungkinkan, namun Zhuangzi dan Liezi mengajarkan bahwa seorang suciwan mustahil untuk terlibat dalam politik. Pengertian wuwei (secara harafiah berarti “tidak berbuat”) berubah menjadi “tidak terlibat” ataupun “membiarkan sesuatu sebagaimana adanya.” Para suciwan tidak lagi memperdulikan hal-hal duniawi. Orang awam terperangkap dalam kemashyuran serta kemewahan, tetapi sebaliknya para suciwan menghindarinya, sehingga mereka benar-benar terbebas dari segenap permasalahan duniawi.
Perbedaan berikutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Dao menurut Daodejing adalah kekuatan yang baik. Namun Zhuangzi dan Liezi, memandang Dao sebagai kekuatan yang bersifat netral. Ia masih merupakan dasar bagi keberadaan segala sesuatu, tetapi tidak lagi merupakan suatu kekuatan yang bajik. Lebih jauh lagi menurut keduanya, Dao tidak lagi memegang kendali atas segala sesuatu di muka bumi ini, apa yang akan terjadi, pasti terjadi; dan tidak ada sesuatupun yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Terlepas dari semua perbedaan tersebut, Ajaran Zhuangzi dan Liezi, masih memiliki banyak kesamaan dengan Ajaran Daoisme dari periode sebelumnya. Dao masih dipandang sebagai sesuatu yang tak bernama, tanpa bentuk, serta tak dapat dipahami dengan rasio manusia biasa. Mereka yang dapat memahami hakekat Dao beserta cara bekerjanya, adalah orang yang tercerahi.
Di dalam Daodejing, Dao dipandang sebagai asal muasal segala sesuatu. Zhuangzi mengolah kembali pandangan ini dengan mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki asal muasal yang sama. Tidak ada sesuatupun yang lebih berharga dibandingkan yang lainnya. Begitu pula manusia tidak lebih berharga dibandingkan hewan. Selain mengajarkan prinsip kesetaraan segala sesuatu ini, Zhuangzi juga mengajarkan bahwa hidup ini mengalami transformasi yang terus menerus dari Dao.
Zhuangzi mewariskan pada kita sebuah kitab yang diberi judul namanya sendiri yakni kitab Zhuangzi. Kitab ini memiliki judul lain yang berbunyi Nanhua zhenjing (Kitab Klasik Kemurnian dari Nanhua). Di dalamnya juga terdapat pandangan shamanistik mengenai para suciwan, misalnya dikatakan bahwa mereka dapat terbang ke langit, berbicara dengan hewan, serta memiliki kekuatan-kekuatan atas unsur-unsur alam. Sedangkan Liezi meninggalkan sebuah kitab yang juga diberi judul sesuai dengan namanya.
Zhuangzi dikatakan lahir di Tiongkok bagian tengah yang kini terletak di Propinsi Henan serta mempunyai jabatan rendah dalam pemerintahan. Hanya sedikit riwayat yang kita kenal mengenai dirinya. Kitab hasil karyanya itu terdiri dari 33 bagian, yang masih dibagi lagi menjadi bagian “luar” dan “dalam.” Bagian “dalam” meliputi tujuh bagian pertama. Sebagian besar di antara tujuh bagian pertama ini dianggap otentik oleh para ahli, sedangkan bagian selanjutnya diduga sebagian besar palsu. Zhuangzi mengajarkan relativitas dari segala sesuatu, sebagaimana yang nampak dari kutipan menarik Kitab Zhuangzi berikut ini:

Suatu kali, aku, Zhuang Zhou (nama pribadi Zhuangzi – penulis), bermimpi bahwa aku menjadi kupu-kupu dan merasa bahagia sebagai kupu-kupu. Saya merasa sadar bahwa saya merasa cukup puas dengan diri saya sendiri, namun saya tidak mengetahui bahwa saya adalah Zhou. Tiba-tiba aku terjaga, dan jelas sekali aku adalah Zhou. Saya tidak tahu apakah apakah Zhou yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah sang kupu-kupu yang bermimpi menjadi Zhou. Antara Zhou dan kupu-kupu pastilah terdapat perbedaan. Inilah yang disebut transformasi segala sesuatu.

Relativitas segala sesuatu ini makin ditegaskan pada kutipan berikut ini:

Bila seseorang tidur di tempat yang basah, maka ketika bangun, ia akan merasa bahwa punggungnya sakit.... namun apakah hal yang sama berlaku pada seekor belut? Jika seseorang mencoba untuk berdiam di atas pohon, maka ia akan pingsan karena ketakutan. Namun hal yang sama berlaku pada seekor monyet? Di antara ketiga hal ini, manakah yang mengetahui habitat yang [paling] benar untuk hidup? Manusia makan daging, rusa makan rumput, kelabang menyukai ular, burung hantu dan burung gagak memakan tikus. Dapatkah Anda mengatakan manakah makanan yang [paling] benar di antara keempat makhluk ini?... Orang memandang Mao Chiang dan Li Ji sebagai wanita-wanita tercantik, tetapi begitu melihat mereka, ikan-ikan menyelam jauh ke dalam air [untuk menyembunyikan diri] dan sementara itu burung-burung lari beterbangan... [Lalu jika demikian], manakah tolok ukur yang benar mengenai kecantikan?

Sebagaimana halnya ajaran yang terkandung di dalam Daodejing, Zhuangzi juga mengatakan bahwa memaksa mengusahakan sesuatu di luar kemampuan kita adalah suatu kekeliruan. Ia mengatakan:

Mereka yang memahami kehidupan tidak akan mengupayakan sesuatu yang tidak diberikan oleh kehidupan. Mereka yang memahami nasib tidak akan mengupayakan sesuatu yang berada di luar jangkauan pengetahuan .

Sikap untuk tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu ini mendorong timbulnya gerakan pertapaan bagi kaum Daois, dimana hal ini ditentang oleh penganut Konfusianisme yang mengajarkan diri untuk tidak menarik diri dari masyarakat.
Kini kita akan mengutip sedikit ajaran Liezi:

Tak ada seorangpun yang berusia lebih dari seratus tahun, dan tidak ada satu dari seribu orang yang dapat mencapai usia seratus. Dan bahkan orang yang satu ini menghabiskan setengah dari kurun waktu kehidupannya sebagai anak yang tak berdaya atau orang tua yang sudah pikun. Dari waktu yang tersisa, setengahnya dihabiskan untuk tidur atau terbuang pada siang hari. Selanjutnya dari sekian waktu yang tersisa dari itu semua, ia masih didera oleh rasa sakit, penyakit, kesedihan, dendam, kematian, kerugian, kekhawatiran, serta ketakutan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun atau lebih boleh dikatakan bahwa tidak sampai satu jam seseorang dapat merasakan kedamaian terhadap diri sendiri dan lingkungannya, tanpa diganggu oleh rasa cemas.
[Bila demikian] untuk apakah manusia hidup? Apakah kesenangan yang dapat diperoleh dari kehidupan itu? Apakah kita hidup untuk menikmati keindahan serta kekayaan? Apakah untuk menikmati keindahan suara dan warna semata? Bukankah ada saatnya ketika ketika keindahan dan kekayaan tidak lagi memenuhi kesenangan hati, dan ada pula saatnya ketikga suara dan warna menjadi sesuatu yang mengganggu telinga serta mata.
Apakah kita hidup agar ditakut-takuti sehingga tunduk pada hukum dan kadang-kadang bertindak nekad [melawan hukum] karena didorong oleh upah atau ketenaran? Kita merusak diri sendiri dengan berusaha mati-matian merangkak ke atas, sambil berusaha untuk mereguk pujian dangkal yang diperdengarkan satu jam semata. Mencari akal untuk menemukan bagaimana caranya nama baik kita tetap dikenang setelah kematian. Kita bergerak melintasi dunia dalam suatu celah sempit yang penuh dengan berbagai hal remeh yang kita lihat serta dengar, sambil berpikir berdasarkan prasangka-prasangka, mengabaikan kenyamanan hidup, tanpa menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya.
Orang di zaman dahulu menyadari bahwa kehidupan dan kematian datang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengingkari salah satupun dari keinginan-keinginan alami mereka, dan tidak pula menekan satupun di antara hasrat-hasrat mereka. Mereka menyimak melalui kehidupan, sambil memperoleh kesenangan yang digerakkan oleh detak jantung mereka. Karena tidak mempedulikan ketenaran setelah kematian, maka mereka mengatasi hukum. Mereka tidak pula mempedulikan nama serta pujian, cepat atau lambat, usia panjang atau pendek...


Ungkapan Liezi di atas mengajarkan manusia untuk merenungkan hakekat kehidupan mereka. Manusia telah lahir dalam suatu dunia yang tidak ikut diciptakannya sehingga tidak dapat dipahaminya secara penuh. Hal ini diperberat lagi oleh belenggu-belenggu kewajiban serta ketakutan. Manusia masih membebani dirinya dengan tuntutan pada diri sendiri agar melakukan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Kita meneladani ajaran ini dengan tidak merasa cemas, menghadapi hidup sebagaimana adanya, dan tidak terperangkap oleh keinginan yang tidak bermanfaat.


c. Perbedaan pandangan lainnya antara Daoisme dan Konfusianisme

Penganut Daoisme dan Konfusianisme memiliki perbedaan pandangan dalam hal keadilan. Untuk memperjelas hal ini kita akan mengutip apa yang diungkapkan Alan Watts dalam bukunya Tao of Philosophy:

Ada kata lain bagi keadilan (justice), atau hukum. Dalam bahasa Tionghua, istilah ini berarti ketel beserta sebilah pisau untuk memasak korban persembahan. Dalam peradaban Tiongkok kuno, kaisar menuliskan hukum-hukum negara dengan sebilah pisau di samping ketel, sehingga ketika korban di bawa untuk dimasukkan dalam ketel itu, mereka yang membawa korban dapat membaca dan mengerti maksudnya. Walaupun demikian, penasihat kaisar mengatakan bahwa tindakan itu sangat buruk, karena pada saat hukum itu dibaca, muncullah keinginan untuk melanggarnya. Mereka yang membaca hukum tadi justru memikirkan cara-cara untuk melanggarnya, dan itulah yang kita lakukan selama ini. Tatkala kongres mengesahkan sebuah undang-undang – khususnya undang-undang pajak – semua penasihat hukum berkumpul dan mencari celah-celah untuk melanggarnya. Mereka mengatakan, “Undang-undang pajak ini ternyata tidak mendefinisikan ini dan itu.” Demikian juga dengan sebagian pengikut Konfusius yang ingin menertibkan bahasa dan membuat semua kata mempunyai arti setepat-tepatnya, tetapi para penganut Daois mentertawakan mereka dan berkata, “Jika Anda mendefinisikan kata-kata, dengan kata-kata apa Anda akan mendefinisikan kata-kata yang mendefinisikan kata-kata itu?” Sehingga, penganut Daoisme menyatakan bahwa kaisar jangan menuliskan hukum karena rasa keadilan bukan sesuatu yang dapat dirumuskan dengan kata-kata. Para penasihat hukum menyebutnya “keadilan” (equity). Jika Anda membicarakan beragam hakim dengan penasihat hukum manapun, ia akan berkata, “Hakim Smith lebih mengacu pada hukum secara harafiah, namun hakim Jones mempunyai rasa keadilan. Hakim Jones tahu dalam kasus khusus apa suatu hukum ternyata tidak dapat diterapkan. Ia mempunyai kecenderungan untuk “bermain sportif,” dan figur seperti itulah yang dipercaya menjadi hakim.”

Berdasarkan kutipan di atas, kita mengetahui bahwa Konfusianisme berusaha menuangkan hal-hal yang sesungguhnya abstrak seperti halnya “keadilan,” ke dalam kata-kata atau hukum tertulis. Sedangkan Daoisme mengatakan bahwa “keadilan” yang sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata. Menurut hemat penulis kedua-duanya tidak ada yang salah. Meskipun benar bahwa “keadilan” sejati tidak dapat dituangkan dengan kata-kata dan hukum masih dapat dicari celahnya, tetapi hukum tetap saja diperlukan. Tidak dapat dibayangkan apabila suatu negara tidak memiliki hukum. Jadi semuanya memiliki proporsi kebenaran sendiri-sendiri.

3.Berdirinya Daoisme sebagai lembaga keagamaan pada zaman Dinasti Han

Daoisme baru menjelma menjadi suatu agama yang terorganisasi pada masa Zhang Daoling yang hidup semasa Dinasti Han Timur. Meskipun demikian proses transformasi ini tidak akan terjadi begitu saja tanpa faktor-faktor pendukungnya. Berikut ini kita akan mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi pendorong bagi proses tersebut.
Pada masa akhir Dinasti Zhou yang terpecah menjadi beberapa negara, banyak orang yang terpelajar yang berkeliling untuk menjajakan kemampuan mereka sebagai ahli ketata-negaraan maupun penasehat politik. Mereka berkeliling untuk mencari raja atau penguasa yang bersedia memanfaatkan jasa mereka. Profesi mereka pada masa sekarang dapat disamakan dengan para konsultan dari berbagai bidang. Dengan penyatuan Tiongkok di bawah Dinasti Qin, praktis jasa mereka tidak diperlukan lagi. Dinasti Han yang merupakan kelanjutan dari Dinasti Qin juga memerintah seluruh Tiongkok. Sama dengan Dinasti Qin, mereka menerapkan sistim pemerintahan yang terpusat serta membatasi kekuasaan para bangsawan. Dengan demikian persatuan negara menjadi kuat. Sistim pemerintahan terpusat tersebut menjadikan kaum terpelajar yang sebelumnya berkeliling menjajakan jasa mereka tidak diperlukan lagi keberadaannya.
Sebelumnya banyak dari mereka yang juga menguasai kemampuan gaib, seperti meramal nasib, penyembuhan, dan memperpanjang usia. Karena pengetahuan mereka dalam bidang ketata-negaraan serta politik tidak diperlukan lagi, dilakukanlah alih profesi dengan memanfaatkan kemampuan lain tersebut. Pada masa Dinasti Qin dan Han awal, mereka membentuk suatu kelompok masyarakat tersendiri yang disebut dengan fangshi. Kata ini sendiri berarti “ahli ilmu gaib” (masters of formulae). Secara umum mereka terbagi menjadi dua, yakni yang mengkhususkan diri pada ilmu gaib, peramalan serta penyembuhan dan mereka yang mengkhususkan diri pada ilmu pemanjang usia serta rahasia hidup abadi. Masing-masing golongan ini hadir guna memenuhi harapan kedua kelompok masyarakat yang berbeda. Kaum kaya lebih menginginkan umur panjang serta hidup abadi, sedangkan kaum miskin tidak memerlukannya. Kehidupan mereka diliputi kesengsaraan, sehingga memperpanjang hidup bagi mereka sama saja dengan memperpanjang penderitaan. Sebaliknya kaum miskin yang antara lain terdiri dari petani, lebih menghendaki jaminan panen yang baik dan kesehatan diri beserta anggota keluarganya, sehingga dapat bekerja di ladang dengan lancar. Para fangshi memenuhi segenap dambaan mereka dengan menuliskan jimat yang berisikan simbol-simbol tertentu serta kata-kata yang dipercaya mengandung kekuatan gaib. Tujuannya adalah untuk mengundang roh-roh suci agar memberikan kesembuhan dari penyakit, perlindungan, serta mengabulkan setiap harapan. Jadi kaum fangshi ini kemudian menjadi semacam kelas pendeta di tengah-tengah masyarakat pada zaman itu, dimana kelas kependetaan semacam ini sebelumnya belum dikenal dalam Daoisme.
Faktor pendorong lain, adalah ajaran seorang ahli filsafat bernama Mozi (± 480 – 390 SM). Beliaulah yang mengawali tradisi suatu agama terorganisasi dengan mendirikan altar-altar guna memuja roh-roh halus lokal. Para pengikut Mozi yang disebut kaum Mohis, mengajak rakyat untuk memuja altar-altar itu. Meskipun Ajaran Mozi (Mohisme) kehilangan pengaruhnya pada masa Dinasti Han, tetapi tetap saja rakyat masih melakukan pemujaan semacam itu, yang kemudian diambil alih oleh Daoisme.
Faktor ketiga yang mendorong perubahan Daoisme menjadi suatu agama, adalah melemahnya upacara ritual kerajaan yang dilakukan oleh para shaman. Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, para raja Dinasti Zhou memanfaatkan jasa para shaman untuk melakukan upacara keagamaan bagi mereka. Lambat laun makna dari upacara keagamaan tersebut menjadi tidak dikenal lagi, sehingga upacara tersebut merosot menjadi semacam rutinitas belaka. Karenanya upacara semacam itu tidak dapat lagi memuaskan kebutuhanan spiritual pada masa itu. Akhir upacara-upacara kuno yang diorganisasi kerajaan terjadi semasa Dinasti Han, di mana kaisar memutuskan untuk menganut Daoisme, dengan mendirikan altar pada tahun 150 M guna menghormati Lao Zi. Posisi para shaman penyelenggaran upacara ritual kerajaan digantikan oleh para fangshi.
Demikianlah tiga prasyarat untuk menjadikan Dao suatu agama tersedia sudah: kelas kaum pendeta, sistim pemujaan, dan dukungan kerajaan. Pada masa inilah Zhang Daoling tampil ke panggung sejarah. Semasa mudanya, Zhang Daoling mempelajari kitab-kitab klasik Konfusianisme, namun kemudian beralih pada ajaran-ajaran Lao Zi serta ilmu memperpanjang umur. Ia lalu pindah ke wilayah Shu (Yunnan sekarang), yang pada masa itu merupakan daerah terpencil serta bergunung-gunung. Daerah tersebut didiami oleh suku-suku yang mempraktekkan kepercayaan shamanistik kuno. Bagi orang yang tinggal di desa-desa terpencil semacam itu, roh-roh adalah sesuatu yang nyata dan ilmu gaib adalah pusat kehidupan mereka. Zhang Daoling menyatakan bahwa ia menerima ajaran langsung dari Lao Zi, yang juga memberikannya kekuatan guna menyembuhkan penyakit serta menaklukkan roh-roh jahat. Karena keampuhan air yang telah dibubuhi abu hasil pembakaran jimatnya, Zhang berhasil menarik banyak pengikut. Jimat tersebut adalah sehelai kertas kuning yang ditulisi simbol-simbol tertentu dengan warna merah. Kebanyakan simbol-simbol tersebut merupakan sarana untuk memanggil roh-roh atau makhluk suci. Zhang menciptakan suatu agama yang berpusat pada dirinya sendiri, ia memberikan gelar Lao Zi sebagai Taishang Laoqun (Penguasa Agung nan Tinggi). Zhang Daoling dan keturunannya kemudian menjadi pemimpin gerakan keagamaan itu. Gerakan keagamaan ini disebut dengan wudoumidao atau “Jalan Lima Gantang Beras,” karena orang yang ingin bergabung diharuskan membayar sumbangan sejumlah lima gantang beras. Pujaan utama aliran keagaman ini adalah Lao Zi yang dipandang sebagai pendiri Daoisme (kendati Zhang Daoling yang mentransformasikan Daoisme menjadi suatu agama). Zhang Daoling dan keturunannya menyebut diri mereka sebagai “Guru-guru Langit” (Tianshi) dan menjadi perantara antara para dewa dan umat awam. Namun, hal terpenting di atas semua itu adalah agama baru ini dapat memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Zhang Daoling dan pengikutnya menciptakan suatu sistim keagamaan lengkap dengan kaum pendeta, kitab suci, upacara ritual, dan ilmu gaibnya. Mereka memerintah bagaikan paus atas sistim keagamaan baru tersebut.
Karya Daois yang ditulis pada zaman ini adalah Taipingjing (Kitab Perdamaian dan Keseimbangan), yang membahas berbagai hal, seperti penciptaan dunia, pentingnya upacara ritual, aturan moralitas, pahala-pahala, hukuman, serta ilmu menambah kesehatan dan umur panjang. Kitab penting lainnya adalah Huainanzi yang ditulis pada pertengahan abad ke-2 SM oleh seorang pangeran wilayah Huainan (inilah yang menyebabkan mengapa ia juga disebut Huainanzi) yang bernama Liu An – cucu Liu Bang. Isinya mengisahkan legenda para dewa gunung yang memiliki kepala manusia dan tubuh naga. Selain itu disebutkan mengenai Gunung Kunlun tempat seseorang dapat mencapai keabadian. Para kaisar lalu berusaha menghubungkan dirinya dengan dewa-dewa melalui upacara rumit yang dipimpin oleh pendeta Daois. Pada zaman ini tidak hanya kaisar saja yang memiliki harapan untuk meminta bantuan kekuatan kosmis dan meramalkan masa depan, karena hal ini juga dipraktekkan oleh rakyat jelata. Timbul peningkatan minat terhadap hal-hal gaib keagamaan.
Pada zaman Dinasti Han ini pula timbul kultus pemujaan terhadap seorang dewi bernama Xiwang Mu atau Xiwang Shengmu (Hokkian: See Ong Bo atau See Ong Seng Bo) yang berarti Ibu Suci dari Barat. Ia dikabarkan memiliki surga yang diliputi keajaiban. Di sana tumbuh pohon dan sungai keabadian. Terdapat pula hewan-hewan ajaib seperti gagak dengan tiga kaki, kura-kura ajaib, serigala berekor sembilan, dan lain sebagainya yang menghasilkan obat-obatan panjang usia. Rakyat yang berasal dari berbagai kalangan memohon berkahnya dan kuil pemujaannya-pun didirikan di seantero negeri. Bersamaan dengan itu, muncul pula ramalan akan segera berakhirnya Dinasti Han yang benar-benar terjadi dengan perebutan kekuasaan oleh Wang Mang.

4. Perkembangan semasa Zaman Tiga Negara

Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung mengenai Zhang Daoling beserta organisasi keagamaan yang didirikannya. Kita telah mengetahui pula bahwa Dinasti Han berakhir pada tahun 220 dan terpecah menjadi tiga negara, yakni: Wei, Wu, dan Shu. Organisasi keagamaan yang didirikan oleh Zhang Daoling itu, kini dipimpin oleh Zhang Lu, cucu Zhang Daoling dan diakui oleh Kerajaan Wei sebagai Zhengyi Mengwei (Aliran Ortodoks Utama) dari Taoisme. Belakangan, aliran tersebut juga disebut dengan Tianshi Dao (Aliran Para Guru Kedewaan).
Kitab Daois penting yang ditulis pada zaman ini adalah Taishang Lingbao Wufujing (Kitab Pewahyuan Tertinggi Lima Jimat dari Roh Suci). Ini merupakan kitab pertama dari kumpulan kitab-kitab Lingbao (Roh Suci). Di dalam kitab ini dapat dijumpai mengenai jimat untuk melindungi serta memanggil roh-roh suci, penggambaran kosmologi alam kedewaan, teknik meditasi, serta resep-resep untuk meramu obat hidup abadi.
Aliran filosofi Daois lainnya berkembang adalah apa yang dinamakan Aliran Misteri. Tokoh-tokohnya adalah He Yan (wafat tahun 249), yang mengarang sebuah karya berjudul Wuminglun (Risalah Mengenai yang Tak Bernama), Wang Bi (226 – 249), seorang ahli filsafat cendekia yang wafat pada usia 23 tahun dan telah menulis komentar terhadap kitab Laozi dan Yijing, Xiang Xiu (223? – 300), pengarang komentar terhadap kitab Zhuangzi, Guo Xiang (wafat 312) yang menambahkan komentarnya sendiri pada kitab karangan Xiang Xiu, dan Pei Wei (267 – 300) yang mengarang Chongyoulun (Risalah Mengenai Keberadaan). Aliran Misteri membahas masalah-masalah metafisika yang rumit, seperti masalah Keberadaan dan Ketidak-beradaan, yang dipandang bukan sebagai sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang tak terpisahkan satu sama lain.




5.Perkembangan Daoisme semasa Dinasti Jin

Ge Hong (281 – 340) adalah seorang ahli patologi dan alkimia terkemuka semasa Dinasti Jin serta dikenal pula sebagai tokoh Daoisme. Ia dilahirkan di daerah yang sekarang menjadi bagian Propinsi Jiangsu dan telah mengalami kehidupan yang sulit serta miskin semasa mudanya. Ia harus bekerja sebagai penebang kayu, agar dapat membeli kertas dan tinta - dua perlengkapan yang wajib dimiliki seorang pelajar. Karena tidak memiliki cukup uang untuk bersenang-senang, Ge Hong lebih memilih untuk menenggelamkan diri dalam literatur-literatur kuno dan melatih senam pernafasan. Dengan segera ia menjadi salah seorang murid terpandai pamannya yang bernama Ge Xuan, yang mengajarkan padanya rahasia ilmu pengobatan tradisional Tiongkok kuno. Semasa pemberontakan Shibing yang terjadi sekitar tahun 302 – 303, Ge Hong diangkat sebagai pejabat dan berhasil memadamkan pemberontakan itu. Oleh karena jasanya ini, ia diangkat sebagai penasehat militer gubernur setempat. Ge Hong kemudian membaktikan sisa hidupnya untuk menemukan ramuan obat panjang umur dan mempelajari Dao. Ia wafat saat berusia 81 tahun. Legenda mengatakan bahwa ketika peti jenazahnya hendak dibawa ke pemakaman, ternyata peti itu kosong, sehingga masyarakat meyakini bahwa Ge Hong telah menjadi dewa.
Ge Hong pada sekitar tahun 326 menulis sebuah kitab berjudul Baopuzi Neiwaipian. Isinya membahas mengenai alkimia, ilmu tentang diet, dan kegaiban. Karya ini sangat dijunjung tinggi oleh umat Daois hingga sekarang. Saran-saran Ge Hong di dalam Baopuzi yang berhubungan dengan kesehatan ternyata masih relevan hingga saat ini. Sebagai contoh pada bab Yangshen ia menganjurkan kita untuk berpakaian hangat sebelum merasa kedinginan, makan sebelum merasa lapar, berhenti makan sebelum kekenyangan, bila minum alkohol jangan terlalu lama begadang, jangan tidur di udara terbuka, jangan tidur terlalu lama, jangan bekerja berlebihan, makan teratur serta secukupnya, dan lain sebagainya. Ge Hong juga mengajarkan bahwa memperkuat qi (energi vital kehidupan) melalui latihan pernafasan serta menambah darah melalui makanan dan vitamin tertentu dapat memperpanjang usia kita. Prinsip latihan itu adalah “membuang” nafas yang lama dan menarik nafas yang baru. Ia menjelaskan sebagai berikut:

Manusia hidup di tengah-tengah udara, sebagaimana halnya udara (nafas) di dalamnya. Semua makhluk di muka bumi ini, tidak ada yang dapat hidup tanpa udara. Jika seseorang menguasai teknik pernafasan, maka hal ini dapat menunjang kesehatan tubuhnya dari dalam. Dengan demikian, ini akan melindungi dirinya terhadap pengaruh merusak dari luar. Siklus alami nafas mengikuti aturan sebagai berikut: dari tengah malam sampai tengah hari merupakan masa pembangkitan nafas (shengqi, yang secara harafiah berarti “nafas hidup”), sedangkan dari tengah hari hingga tengah malam merupakan masa siqi atau “nafas mati.” Oleh karenanya, pada kurun waktu ini seseorang harus banyak menghirup nafas. Teknik pernafasan (yinqi) meliputi hal-hal sebagai berikut: seseorang menghirup nafas melalui hidungnya. Hiruplah banyak udara tetapi sedikit menghembuskannya lagi. Hiruplah udara, lalu tahanlah nafas. Berikutnya bernafaslah secara perlahan-lahan dan tanpa suara. Jika seseorang menguasa hal ini dengan sempurna, ia dapat menahan nafas dalam jangka yang waktu yang cukup lama, [bahkan] hingga mencapai hitungan ke-1000. Inilah yang disebut taixi (benih nafas) .

Dalam bidang patologi, Ge Hong menyumbangkan pembahasan mengenai penyakit cacar, beri-beri, dan juga penyakit lainnya. Bahan-bahan bagi resep obat Ge Hong tergolong murah tetapi manjur, sehingga cocok bagi rakyat kebanyakan.
Pada bagian ini, kita akan membahas kelanjutan perkembangan Aliran Tianshi Dao terlebih dahulu. Di atas telah diuraikan bahwa Sima Yan mempersatukan Tiongkok kembali dan mendirikan Dinasti Jin. Namun pada tahun 317 M, mereka terpaksa melarikan diri ke selatan oleh karena serangan suku bangsa barbar dari utara. Dengan didukung oleh orang-orang yang masih setia pada Dinasti Jin, mereka mendirikan Dinasti Jin Timur. Di antara para pengikut setia Dinasti Jin, terdapatlah Sun Yin dan Lu Dun. Mereka berdua adalah pengikut Aliran Tianshi Dao dan dipandang sangat berjasa dalam menegakkan kembali Dinasti Jin. Kerajaan kemudian memberikan sokongan bagi aliran tersebut, sehingga menjadikannya makin berkembang.
Perkembangan penting lainnya yang mewarnai Daoisme pada kurun waktu ini adalah timbulnya suatu aliran pemikiran yang disebut dengan Neo-Daoisme. Runtuhnya Dinasti Han yang diikuti oleh zaman kekacauan, menjadikan banyak mantan pejabat dan kaum cendekiawan memilih untuk mengasingkan dirinya. Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan menulis puisi atau mempelajari berbagai aliran filosofi termasuk Daoisme. Inilah yang menjadi cikal bakal bangkitnya gerakan Neo-Daoisme. Kaum cendekiawan dan mantan pejabat itu merasa menemukan kebebasan dalam gagasan mendasar Daoisme yang disebut dengan “spontanitas” atau “kealamian” (ziran). Secara praktis ini berarti bahwa seseorang dapat bertindak atau berkata seturut kehendak hatinya tanpa dibatasi oleh aturan-aturan kaku dalam masyarakat. Meskipun seseorang dapat bertindak atau berkata seturut kehendak hatinya, tetapi itu semua harus dilandasi oleh spontanitas atau kealamian. Dengan kata lain segenap tindakan itu tidaklah didasari oleh niat-niat tidak baik seperti kebencian, iri hati, kemarahan, keserakahan, dan lain sebagainya. Oleh karena hal-hal negatif itu akan menjadikannya tidak murni, alami, atau spontan lagi.
Para penganut Neo-Daoisme mulai menyadari adanya kemiripan antara gagasan-gagasan mereka dengan Buddhisme, seperti dalam hal konsep “kekosongan” (sunyata). Inilah yang mendorong sintesa antara Daoisme dan Buddhisme. Salah seorang penganut Neo-Daoisme yang bernama Liu Qiu (438 – 495) menyatakan:

Dari Gunung Kunlun ke arah timur (maksudnya Tiongkok – penulis) istilah “Kesatuan Agung” dipergunakan. Sementara itu dari Kashmir ke arah barat (maksudnya lingkup pengaruh budaya India – penulis), dipergunakan istilah sambodhi. Terlepas dari seseorang memusatkan perhatian pada prinsip “ketidak-beradaan” (non-being, istilah Daois – penulis) atau pada “kekosongan” (emptiness, istilah Buddhis – penulis) prinsip dasarnya adalah sama saja .

Tokoh lainnya yang bernama Fan Ye (398 – 445) juga memiliki pendapat sama dengan menyatakan:

Bila kita mengamati lebih dekat lagi ajaran Buddhisme mengenai pemurnian pikiran dan pencapaian kebebasan dari belenggu kehidupan, ajaran tersebut menekankan pula daya upaya untuk membuang [pandangan dualistis] akan “tiada” dan “ada,” dimana kita memandangnya sebagai sesuatu yang selaras dengan Daoisme .

Untuk jelasnya, kita akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pandangan dualistis ini. Kita cenderung untuk memandang sesuatu berdasarkan dua kutub pandangan yang berbeda, seperti baik – buruk, menyenangkan – tidak menyenangkan, untung – rugi, dan lain sebagainya. Ternyata bila direnungkan secara lebih mendalam, pandangan dualistis ini tidak mencerminkan realita yang sebenarnya. Sebagai contoh, Anda mengatakan bahwa seseorang adalah baik, tetapi orang lain mungkin mengatakan yang sebaliknya. Sehingga kriteria itu tidak memiliki nilai kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu, para penganut pandangan filosofis ini menganjurkan untuk membuang pandangan dualistis semacam itu.
Kedekatan antara Buddhisme dan Neo-Daoisme ini disebabkan karena para penganutnya berasal dari kalangan yang kurang lebih sama dengan para bhikshu Buddhis, yakni dari kaum bangsawan ataupun pejabat.

6.Perkembangan semasa Zaman Dinasti Utara-Selatan

Tokoh Daois terkemuka yang hidup pada zaman ini adalah Kou Qianzhi yang sudah kita singgung di atas, ia merupakan seorang sarjana serta pendeta Daois terkemuka pada masanya. Kou menjadi penasehat spiritual bagi para penguasa Dinasti Wei Utara, oleh karena diperkenalkan namanya oleh Cui Hao. Kou Qianzhi lalu mendirikan cabang utara Aliran Tianshi Dao. Aliran yang didirikannya ini lebih mementingkan pada upacara dan liturgi keagamaan dan berbeda dengan Aliran Tianshi Dao asli yang mementingkan ilmu pembuatan jimat. Dengan diilhami oleh sila-sila dan vinaya (aturan moralitas) Buddhisme, Kou Qianzhi menciptakan aturan mengenai apa yang dilarang dan harus dilakukan oleh seorang praktisi Dao. Para penguasa Kerajaan Wei Utara sangat terkesan dengan Kou Qianzhi dan menjadikan bentuk Aliran Tianshi Dao yang diperkenalkannya sebagai agama negara. Tetapi, ketika kaisar memutuskan untuk membantai seluruh biarawan Buddhis, Kou memprotes hal itu.
Lu Xiujing, merupakan tokoh Aliran Tianshi Dao di Tiongkok Selatan. Jasa pentingnya adalah pengumpulan menjadi satu kitab-kitab Taois, yang menjadi inti bagi kanon kitab suci Taoisme pada masa sekarang. Pada masanya jumlah kitab suci Taois telah semakin banyak jumlahnya. Di samping kitab-kitab Daodejing, Zhuangzi, dan Liezi yang telah dibahas pada bagian terdahulu, timbul pula kitab-kitab mengenai ramuan-ramuan serta teknik untuk mencapai keabadian yang diwariskan oleh para fangshi. Selain itu masih terdapat pula kitab-kitab Lingbao, yang pada jaman Lu telah berjumlah 50 jilid. Sebagai tambahan timbul pula jenis kitab-kitab baru yang disebut kitab-kitab Shangqing. Kitab-kitab ini merupakan pertanda masuknya mistisisme dalam Daoisme.
Dengan diilhami oleh kanon Tripitaka Buddhis, Lu menyusun kanon Kitab Suci Taois (Daozang) yang dipublikasikan pada tahun 471. Susunannya terbagi menjadi dua bagian besar, yakni “bagian besar” dan “bagian kecil.” Bagian besar terbagi menjadi tiga bagian yang disebut Dongzhen (Gua Realisasi), Dongxuan (Gua Rahasia-rahasia), dan Dongshen (Gua Roh-roh suci). Empat “bagian kecil” terbagi lagi menjadi empat, yakni Taixuan (Misteri Agung), Taibing (Keseimbangan Agung), Taiqing (Kemurnian Agung), dan Zhengyi (Kitab-kitab Klasik Ortodoks). Kanon ini telah mencakup semua naskah dari berbagai bentuk utama Daoisme masa itu, yakni aliran yang mengembangkan ilmu memperpanjang usia, ilmu gaib dan upacara-upacara dari Aliran Tianshi Dao dan Taoisme Mistik yang kemudian dikenal sebagai Aliran Shangqing. Pada saat kematian Lu Xiujing pada tahun 477, Daoisme telah memiliki pengaruh penting di Tiongkok Selatan. Atas jasanya itu, Daoisme menjadi agama yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Di atas kita telah menyinggung sedikit mengenai kumpulan kitab Daoisme baru yang disebut dengan Shangqing. Kitab-kitab ini mendorong terbentuknya aliran Daoisme baru di samping Tianshi Dao yang sudah ada sebelumnya, yakni Aliran Shangqing atau Daoisme Mistik. Cikal bakal Aliran Shangqing ini sebenarnya adalah seorang wanita bernama Wei Huacun pada masa Dinasti Jin. Nyonya Wei dikatakan telah menerima wahyu dari para dewa dan mencatat ajaran mereka pada sebuah kitab yang berjudul Shangqing Huangding Neiqing Yujing (Kitab Klasik Batu Giok Istana Kuning Mengenai Gambaran-gambaran Internal atas Alam Murni nan Tinggi) pada tahun 288 M. Isinya mengajarkan bahwa organ-organ dalam tubuh manusia dikendalikan oleh sesuatu kekuatan yang disebut dengan “roh-roh penjaga.” Meskipun demikian, gagasan mengenai adanya “roh-roh penjaga” pada tiap-tiap organ tubuh manusia telah dikenal sebelumnya. Kitab Taibingjing yang telah ada sebelumnya menyebutkan:

Jika tubuh berada dalam ketenangan dan energi kehidupan [atau “roh”] dijaga di dalamnya, penyakit tidak akan sanggup berkembang-biak. Anda akan berumur panjang, oleh karena energi-energi yang baik melindungi Anda.

Pada kitab komentar Daodejing yang ditulis oleh He Shanggong, disebutkan apabila seseorang dapat membina “roh-roh penjaga” yang terdapat dalam tubuhnya, ia dapat mencapai keabadian. Kelima “roh-roh penjaga” yang berdiam dalam organ manusia itu adalah sebagai berikut:

1. Hati tempat berdiam roh manusia
2. Paru-paru tempat berdiam jiwa manusia
3. Jantung tempat benih roh abadi
4. Limpa tempat berdiam keinginan-keinginan manusia
5. Empedu tempat berdiam energi pembangun

Apabila kelima organ tersebut mengalami gangguan, kelima roh itu akan meninggalkannya.
Orang yang berjasa menyebarkan Aliran Shangqing ini adalah Yang Xi. Dikatakan bahwa ia telah menerima penampakan dari Nyonya Wei yang saat itu telah menjadi dewi. Ia kemudian mencatat ajaran-ajaran dari Nyonya Wei tersebut dan selanjutnya diwariskan kembali pada Xu Hui dan Xu Mi (ayah dan anak). Kitab-kitab Aliran Shangqing lainnya adalah Taishang Baowen (Tulisan Suci dari Yang Tertinggi), Dadong Zhenjing (Kitab Sejati dari Gua Agung), dan Basu Yinshu (Kitab Tersembunyi mengenai Delapan Kesederhanaan).
Para penganut Aliran Shangqing ini berhubungan satu sama lain melalui ikatan keluarga atau perkawinan. Xu Hui dan Xu Mi ini berkerabat dengan Ge Hong, yang menulis kitab Baopuzi (lihat kembali bagian 8.4). Anggota lain keluarga Ge yang ikut berjasa dalam Aliran Shangqing adalah Ge Xuan. Ia mengumpulkan menjadi satu Kitab-Kitab Lingbao dari Daoisme.
Bentuk awal dari Aliran Shangqing menggabungkan banyak aspek dari Aliran Tianshi Dao. Mereka menggunakan jimat-jimat dan menjadikan Yuanshi Tianqun (nama lain dari Lao Zi), sebagai dewa tertinggi mereka. Mereka juga memakai kitab-kitab Taipingjing, Zhengyi Fawen (Aturan-aturan dan Kitab-kitab aliran Tianshi Dao), Taishang Lingbao Wufujing, dan kitab-kitab Lingbao lainnya sebagai kitab utama mereka.
Apa yang menjadi pembeda antara Aliran Shangqing dengan Tianshi Dao adalah:

1. Aliran Shangqing mengajarkan untuk memelihara “roh-roh penjaga” dalam tubuh, demi tercapainya kesehatan tubuh umur panjang, sedangkan Aliran Tianshi Dao tidak mengenal paham ini dan lebih meyakini bahwa penggunaan jimat dan ramuanlah yang bertujuan menyembuhkan penyakit serta menjaga kesehatan tubuh.

2. Aliran Tianshi Dao menggunakan jimat untuk menyembuhkan penyakit, mengusir setan, dan melindungi diri terhadap roh jahat, sedangkan Aliran Shangqing menggunakan jimat untuk memanggil dan memvisualisasikan “roh-roh penjaga” di dalam tubuh serta mengadakan perjalanan menuju alam realita lainnya.

Meskipun terdapat perbedaan, hal ini tidaklah mengundang permusuhan dari Aliran Tianshi Dao yang lebih tua. Memang, toleransi beragama telah dijunjung tinggi di Tiongkok semenjak jaman dahulu.
Tokoh selanjutnya yang ikut mengembangkan Aliran Shangqing adalah Tao Hongjing (yang warisannya dalam ilmu pengobatan telah kita bahas pada bagian 9.5). Setelah mengundurkan diri dari jabatannya dan berdiam di Maoshan, sebuah gunung di Propinsi Jiangsu, ia menulis kembali silsilah Aliran Shangqing, mencatat otoritas pewariskan ajarannya, mencatat susunan penghuni alam kedewaan beserta jabatan-jabatan dan wewenang di dalamnya. Oleh karena itu Tao Hongjinglah yang berjasa menetapkan kosmologi kedewaan Taois. Tingkatan para dewa tersebut dibagi-bagi berdasarkan tingkat pencapaian kesucian mereka. Tao Hongjing juga tertarik dengan ilmu alkimia (nenek moyang ilmu kimia) dan ia mempunyai sebuah laboratorium di Maoshan (Gunung Mao) yang dibiayai oleh kerajaan. Dengan laboratorium itu ia berusaha menciptakan pil panjang umur dan memperkenalkan penggunaan mineral serta rempah-rempah untuk menjaga kesehatan dan memperpanjang usia ke dalam Aliran Shangqing. Aliran Shangqing yang didirikan oleh Tao ini dikenal sebagai Cabang Maoshan atau lengkapnya Aliran Maoshan Shangqing (Aliran Maoshan Shangqing ini berbeda dengan Aliran Maoshan yang menekankan ilmu gaib pada masa Dinasti Ming).
Kita akan mempelajari secara sekilas mengenai Gunung Mao tersebut, mengingat arti pentingnya bagi Daoisme, dimana gunung ini dianggap suci oleh umat Daois. Maoshan sebagai gunung suci ini tercantum dalam kanon kitab-kitab Dao (Daozhang) dan juga kitab-kitab lainnya. Sesungguhnya, nama asli gunung ini adalah Di Fei dan terkadang disebut pula Ji Qi. Pada tahun 153 SM, terdapat seorang sesepuh bernama Mao Ying, yang bertapa mendalami Dao di sana. Mao Ying kemudian diikuti oleh dua adiknya yang lain. Ketiga Mao bersaudara itu sering menolong rakyat tanpa pamrih dan tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin. Untuk mengenang jasa-jasa mereka, nama gunung tersebut diganti menjadi Gunung Mao (Maoshan). Gunung Mao ini telah menghasilkan pakar-pakar Taoism yang terkenal seperti: Ge Hong, Lu Xiujing , dan Tao Hongjing sendiri.
Kini kita akan sedikit membahas lebih dalam ajaran Aliran Shangqing. Ajaran aliran ini dibagi menjadi tiga hal: “alam semesta bagian dalam”, “alam semesta bagian luar”, dan perpaduan keduanya. Alam semesta bagian dalam meliputi tubuh manusia sendiri, yang dipenuhi oleh makhluk suci, roh, dan monster. Sehingga dengan demikian Aliran Shangqing meyakini bahwa terdapat makhluk suci dan roh-roh yang menjaga tubuh dari penyakit. Hal ini menarik sekali, mengingat ilmu kedokteran modern, juga menemukan keberadaan darah putih, yang juga menjaga tubuh manusia dari penyakit (fungsi kekebalan tubuh). Apabila para roh pelindung ini telah meninggalkan tubuh, maka tubuh manusia akan melemah dan akhirnya mati. Oleh sebab itu, Aliran Shangqing sebagian besar menitik beratkan pada usaha untuk menjaga agar “roh-roh penjaga” tersebut tidak lemah atau pergi. Selain adanya makhluk-makhluk suci tersebut, mereka juga meyakini keberadaan tiga monster yang menjaga tiga titik pada tulang punggung. Monster-monster tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat jalan energi kita, namun mereka menjadi kuat dikarenakan oleh makanan yang kita makan. Karenanya, demi menjaga agar monster tersebut tidak menjadi terlampau kuat, para praktisi melakukan puasa atau diet tertentu. Alam semesta bagian luar meliputi segala sesuatu di luar kita yang juga dihuni banyak roh dan dewa. Yang terpenting dari mereka hidup di matahari, bulan, dan bintang-bintang.

7.Perkembangan semasa Dinasti Tang

a. Kondisi umum

Zaman Dinasti Tang adalah masa kejayaan Daoisme. Seluruh kaisar Dinasti Tang, dengan Wu Zetian sebagai pengecualian adalah penganut Daoisme yang taat (meskipun mereka juga menghargai Buddhisme). Kejayaan Daoisme semasa Dinasti Tang didukung oleh dua faktor. Yang pertama adalah karena nama keluarga kaisar kebetulan sama dengan Laozi, sang pendiri Daoisme. Oleh karena itu, mereka memandang diri mereka sebagai keturunan Laozi. Faktor kedua adalah karena Daoisme menjanjikan pil panjang umur atau hidup abadi bagi para kaisar, padahal obat yang diramu pada pendeta Daois itu justru membahayakan kesehatan kaisar sendiri, karena mengandung berbagai substansi beracun. Beberapa kaisar Dinasti Tang tewas keracunan "obat panjang usia" ini. Puncak keemasan Daoisme terjadi semasa pemerintahan Kaisar Xuanzong. Kuil-kuil Daois dibangun di seantero negeri, namun keyakinan ini hanya tersebar di kalangan bangsawan saja, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan pengaruh Buddhisme terhadap rakyat jelata.

b. Berkembangnya Daoisme Alkimia (Aliran Taijing)

Alkimia merupakan nenek moyang dari ilmu kimia, dan telah diterapkan pada sebagian besar belahan dunia ini jauh sebelum ilmu kimia yang berdasarkan metode ilmiah berkembang. Aliran Daoisme yang menitik-beratkan pada alkimia ini juga disebut sebagai Taijing. Aliran Taijing membagi alkimia menjadi dua, yakni alkimia eksternal dan internal. Alkimia eksternal menitik-beratkan penggunaan rempah-rempah dan mineral-mineral tertentu untuk menjaga kesehatan, memperpanjang usia, atau bahkan menjadikan orang yang meminumnya tidak dapat mati. Rempah-rempah dan mineral tersebut kemudian diolah menjadi pil. Alkimia internal menunjukkan bahwa segala macam unsur untuk menjadikan seseorang sehat, panjang umur, atau bahkan hidup abadi telah terdapat dalam tubuh manusia itu sendiri. Sehingga alkimia internal lebih bertujuan untuk mengembangkan serta mengolah energi hidup dalam tubuh manusia sendiri tanpa bantuan obat-obatan dari luar.
Sesungguhnya, perhatian Daoisme pada kesehatan dan umur panjang dapat ditelusuri pada karya-karya Lao Zi dan Zhuangzi. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, terdapat dua golongan kaum fangshi. Yang pertama mengkhususkan diri pada penggunaan jimat-jimat untuk kesembuhan dan mereka merupakan pendahulu dari Aliran Tianshi Dao. Sementara kelompok lainnya menekankan pada teknik-teknik utuk memperpanjang usia, menjaga kesehatan, dan mencapai kehidupan abadi dengan bantuan ramuan-ramuan dan merupakan pendahulu bagi Aliran Taoisme Alkimia (Taijing).
Cikal bakal aliran ini adalah Wei Boyang yang hidup pada masa Dinasti Han Timur. Legenda mengisahkan bahwa ia bereksperimen menciptakan pil hidup abadi. Ketika yakin telah berhasil, ia memberikan pil tersebut pada anjingnya. Anjing tersebut terjatuh dan seolah-olah telah mati. Wei Boyang sendiri kemudian menelan pil itu dan juga jatuh tak sadarkan diri. Wei Boyang mempunyai dua orang murid, yang seorang setelah melihat kejadian itu menjadi kehilangan kepercayaan dan meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu murid lainnya yang memiliki keyakinan kuat, menelan pil terakhir dan juga jatuh bagaikan mati. Tak lama kemudian mereka bertiga hidup kembali, merasakan tubuhnya ringan dan selanjutnya terbang ke langit menjadi dewa. Wei meninggalkan sebuah kitab yang berjudul Candongqi (Kesatuan Rangkap Tiga). Sama dengan ajaran yang terdapat pada Aliran Daoisme sebelumnya, Candongqi menyebutkan bahwa Dao adalah sumber segala sesuatu, termasuk kehidupan. Ketika alam terus menerus memperbaharui dirinya sesuai dengan Dao, begitu pula manusia dapat memperbaharui dirinya terus menerus dan mencapai keabadian dengan cara menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip ini.
Pada perkembangan selanjutnya, para kaisar Dinasti Tang benar-benar tergila-gila pada pil yang dapat membuat hidup abadi atau memperpanjang usia. Jumlah kaisar Dinasti Tang yang mati keracunan obat-obatan pembuat hidup abadi melebihi dinasti-dinasti lainnya. Obat pembuat hidup abadi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan kerajaan menunjang eksperimen untuk menciptakan obat semacam itu.
Pada masa akhir Dinasti Tang, orang mulai bertanya-tanya apakah pembuatan pil hidup abadi merupakan hal yang masuk akal. Pertanyaan ini menyebabkan orang untuk merenungkan dan mendefinisi ulang makna keabadiaan. Salah satu makna keabadian ini disumbangkan oleh Agama Buddha: keabadian merupakan hasil pembebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tanpa akhir. Definisi lainnya adalah umur panjang dan kesehatan yang baik. Pandangan-pandangan baru tersebut di atas yang menyebabkan para penganut Aliran Taijing berpaling pada yoga dan meditasi. Setelah runtuhnya Dinasti Tang, usaha manusia untuk mencari keabadian dengan jalan mengkonsumsi dan mengolah berbagai rempah-rempah dan mineral berakhir sudah, dan dengan demikian alkimia eksternal ikut berakhir. Sebagai ganti mengkonsumsi substansi pemanjang usia, orang mulai mengembangkan berbagai teknik yoga demi menjaga dan meningkatkan kesehatan, yang di antaranya disebut Qigong.

8.Perkembangan semasa Dinasti Song

Kehancuran Dinasti Tang diikuti masa kacau selama kurang lebih 60 tahun, dan sesudahnya Dinasti Song (960 – 1279) berhasil mempersatukan Tiongkok kembali. Masa pemerintahan Dinasti Song ini merupakan zaman keemasan ilmu alkimia internal. Tokoh terkenal alkimia internal pada masa ini adalah Lu Dongbin yang merupakan murid Zhongli Quan. Lu Dongbin mewariskan ajarannya pada berbagai muridnya. Salah seorang di antara mereka adalah Chen Xiyi yang terkenal dengan pelatihan Qigongnya, di mana teknik ini merupakan penggabungan Yijing serta usaha untuk melancarkan aliran energi dalam tubuh. Murid lainnya adalah Wang Zhe atau juga disebut Wang Chongyang (1123 – 1170). Dialah yang menggabungkan Ajaran Dao, Buddha, dan Konfusianisme. Selain itu, ia juga merupakan pendiri Aliran Quanzhen (Realitas Sempurna, juga disebut aliran Dan Ding), meskipun aliran tersebut baru dinamakan demikian setelah kematiannya. Tokoh-tokoh alkimia internal berikutnya adalah Zhang Boduan, Qiu Changchun, Qiu Chuji, dan Zhang Sanfeng. Zhang Sanfeng (lebih terkenal dengan nama Thio Sam Hong) inilah yang menggabungkan antara alkimia internal dan ilmu bela diri, dimana ia juga merupakan pencipta Taiqichuan.
Qiu Chuji (1148 –1237) adalah penerus ajaran Wang Zhe yang diundang oleh Genghis Khan, karena tertarik oleh obat keabadian. Ia mengatakan pada penguasa Mongol tersebut, bahwa obat semacam itu sebenarnya tidak ada dan keabadian hanya dapat dicapai melalui perealisasian Dao. Qiu banyak memberikan nasihat agar Khan tidak banyak membunuh. Ia pandai pula menulis puisi dan banyak sekali puisinya yang tersimpan hingga saat ini, demikian pula catatan perjalanan perjalanannya ketika mengunjungi Genghis Khan.

9.Perkembangan semasa Dinasti Yuan

Barangkali episode paling menarik semasa Dinasti Yuan adalah perselisihan antara Buddhisme dan Daoisme, dimana khan harus turun tangan untuk menyelesaikannya. Sebelum mengenal Buddhisme, para penguasa Mongol lebih dahulu tertarik pada Daoisme. Qiu Chuji yang merupakan seorang mahaguru Daois aliran Quanzhen diundang oleh Genghis Khan karena tertarik dengan obat panjang usia., Genghis Khan yang kagum dengan ajarannya lalu mengangkat Qiu sebagai pemimpin tertinggi Daois dan juga agama-agama lainnya termasuk Buddhisme. Dengan memanfaatkan kedudukan pemimpin mereka, para pendeta Daois mulai bertindak ugal-ugalan dan dengan seenak sendiri menyita serta mengambil alih vihara-vihara Buddhis. Bahkan mereka menghancurkan dan mengganti patung-patung Buddha dengan dewa-dewi Daois.
Mereka mengembangkan doktrin yang menyatakan bahwa Buddha hanyalah salah satu dari 81 penjelmaan Laozi, sehingga Daoisme dianggap lebih unggul dan merupakan asal muasal Buddhisme. Lukisan-lukisan yang menggambarkan 81 penjelmaan Laozi (Bashiyihuatu) ini disebarkan ke mana-mana. Kaum Daois menyebarkan pula doktrin lainnya bahwa Laozi pernah pergi ke India dan mengajarkan Daoisme pada Buddha. Doktrin ini didasarkan atas kitab palsu berjudul Laozi Huahujing (Kitab Laozi Mempertobatkan Kaum Barbar), yang ternyata isinya justru banyak mengutip kitab-kitab Buddhis. Setelah kematian Qiu Chuji, perseteruan makin menjadi-jadi, sehingga Mangu Khan mengundang mereka semua untuk menyelesaikan masalahnya. Karena gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (termasuk bukti keotentikan Laozi Huahujing), kaum Daois dianggap kalah. Pihak Buddhis dengan segera menuntut umat Daois yang telah merampas vihara dan menghancurkan patung-patung mereka. Mangu lalu mengeluarkan titah bahwa vihara yang telah dirampas harus dikembalikan kepada umat Buddha, patung-patung yang dihancurkan harus diganti oleh pihak Daois, serta melarang penyebaran kitab-kitab palsu yang merendahkan Buddhisme.
Oleh karena kaum Daois menolak untuk memenuhi titah ini, umat Buddhis melaporkannya kembali pada khan (1256). Namun, Mangu Khan yang sudah jenuh dengan masalah ini lalu meminta saudaranya Kubilai untuk mengambil alih penyelesaiannya. Pada tahun 1258, Kubilai mengundang 300 umat Buddhis, 200 umat Daois, dan 200 kaum Konfusianis ke ibukotanya di Karakorum. Setelah melalui perdebatan panjang, pihak Daois akhirnya mengakui bahwa naskah Daois yang asli hanyalah Daodejing dan di sana tidak pernah disebutkan bahwa Laozi pernah pergi ke India dan mengajar Buddha. Kubilai lalu memerintahkan agar seluruh naskah Laozi Huahujing dikirim ke ibukota untuk dibakar dan begitu pula halnya dengan lukisan Bashiyihuatu. Pelanggaran akan hal ini akan mendapatkan hukuman yang berat. Setelah menjadi kaisar, Kubilai meneguhkan kembali perintah ini dalam bentuk titah kekaisaran yang dikeluarkan pada tahun 1261.
Untuk sementara waktu perseteruan ini mereda, tetapi pada tahun 1280, umat Daois membakar sendiri kuil mereka, tetapi menuduh umat Buddhis sebagai pelakunya. Penipuan ini segera terbongkar dan pencetusnya dijatuhi hukuman mati. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh umat Buddhis untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang masih dilakukan oleh kaum Daois, seperti mengedarkan secara sembunyi-sembunyi kitab-kitab yang dilarang. Investigasi yang dilakukan oleh pihak berwenang ternyata mengungkapkan hal yang jauh lebih parah dibandingkan dengan tuduhan itu. Plat dan huruf-huruf untuk mencetaknya masih disembunyikan oleh kaum Daois dan karya-karya terlarang memang masih diedarkan dengan judul lain. Mengetahui kenyataan ini, Kubilai Khan mengeluarkan titah pada bulan ke-10 tahun 1281 bahwa seluruh naskah Daois dengan Daodejing sebagai pengecualian harus dimusnahkan beserta plat-plat pencetaknya.