Jumat, 15 Juni 2012

SEJARAH DOLLY


SEJARAH DOLLY

Ivan Taniputera
15 Juni 2012

Judul buku : Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly
Penulis :      Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar.
Jumlah halaman : 156
Penerbit : Grafiti Pers, April 1982.

Ini merupakan buku yang bagus mengenai sejarah Dolly, yakni salah satu kawasan pelacuran terbesar di Surabaya. Banyak orang yang pernah mendengar mengenai Dolly, namun belum mengetahui bagaimana sejarahnya. Lokasi geografis Dolly dipaparkan sebagai berikut (halaman 32):

"Kompleks Pelacuran "Dolly" berada di kawasan Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kotamadya Surabaya. Hanya sebuah jalan sepanjang kurang lebih 150 meter dengan lebar sekitar 5 meter beraspal cukup halus, hasil Proyek Perbaikan Kampung (Kampung Improvement Project) tahun 1977. Tepatnya, kompleks pelacuran ini berlokasi di Jalan Kupang Gunung Timur V raya. Kalau Jalan Tunjungan dianggap sebagai pusat atau jantung Kota Surabaya, kompleks pelacuran  ini bisa dicapai dalam waktu kurang lebih 10 menit dengan kendaraan bermotor. Rentangan antara pusat kota dan kompleks pelacuran "Dolly" ini kurang lebih 1 1/2 kilomenter."

Dengan demikian, Dolly terletak tidak jauh dari pusat kota Surabaya. Kawasan ini baru hidup saat malam hari; sementara itu, kondisinya saat siang hari tidak begitu menarik (halaman 33):

"Kehidupan daerah "Dolly" di siang hari menampilkan wajah-wajah "asli" wanita penghuninya, tanpa make up, atau kalaupun memakai make up tak begitu menyolok, hanya polesan tipis menghiasi wajah-wajah mereka."

Bagaimana sejarah berawalnya Dolly?

Dahulu kawasan ini merupakan makam Tionghua yang meliputi wilayah Girilaya sekarang hingga batas makam Islam di Putat Gede (halaman 33-34):

"Arkian, dahulu daerah Putat Jaya-termasuk kompleks Pelacuran "Dolly"-merupakan makam Cina. Baru sekitar tahun 1966 daerah ini "diserbu" para pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Menurut informasi yang diperoleh dari salah seorang penduduk yang saat itu turut dalam kegiatan bongkar membongkar itu, makam dibongkar karena telah dinyatakan pemerintah daerah, makam Cina itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindahkan oleh ahli warisnya."

Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam tersebut, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah yang ada, atau cukup hanya meratakannya saja. Selanjutnya tanah tersebut dapat diklaim oleh pemilik barunya.

Setahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 1967, muncul seorang wanita yang katanya dulu juga merupakan pelacur bernama Dolly Khavit di kawasan yang dulunya makam Tionghua tersebut. Ia kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda dan merupakan pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama "T," "Sul," "NM," dan "MR." Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikianlah asal mula nama "Dolly."

"Dolly" semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai  dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur, dan juga mencapai sebagian Jalan Jarak.

DOLLY YANG ANGKER (halaman 34-35)

Masih banyak makam yang belum dibongkar. Bahkan pada wisma no.33, masih terdapat makam yang belum dibongkar, sehingga justru bangunan rumahnya yang menyesuaikan dengan makamnya. Lebih jauh lagi, di belakang wisma no.37 masih terdapat tiga makam yang belum dibongkar. Penduduk setempat menggunakan makam tersebut sebagai tempat pembuangan sampah, dan konon ahli waris masih mengunjungi makam-makam yang nampak tidak terurus tersebut.

Kerangka-kerangka masih banyak pula yang belum diangkat dan di atasnya langsung didirikan makam. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila kawasan tersebut menjadi angker:

"Sering muncul roh-roh halus di tengah malam buta menggoda para penghuninya. Pelacuran bertetangga dengan roh, tentulah para roh itu penasaran. Ini dikeluhkan pelacur dan pelayan wisma karena sering digoda roh-roh gentayangan itu." (halaman 35).

PERIZINAN

Izin bagi pendirian Wisma itu sebenarnya tidaklah legal, yang diperoleh dari kepolisian, namun menyebutkan bahwa usaha tersebut adalah "warungkopi yang dilayani perempuan-perempuan." Demikianlah yang dituturkan oleh ketua RW 6 Kupang gunung Timur. (halaman 35).

DOLLY DALAM ANGKA

a.Tarip parkir (lihat halaman 35)

Rp. 100,- untuk sepeda motor
Rp. 200,- untuk mobil

Selepas pukul 24.00 mobil dikenakan Rp. 500,- dan sepeda motor Rp. 250,-
Jika bermalam hingga keesokan harinya, mobil dikenakan Rp.1.000,- dan sepeda motor dikenakan Rp. 500,-

Mengingat buku ini dikarang pada tahun 1983, maka jika disesuaikan dengan tarip sekarang, maka tinggal dikalikan 10 kali saja.

b.Jumlah wisma kompleks pelacuran Dolly tahun 1981 (halaman 38).

RW 6 Kupang Gunung Timur terdapat 25 wisma.
RW 12 Putat Jaya C Timur terdapat 18 wisma.
RW 10 Putat Jaya B Timur terdapat 5 wisma.

c.Tarip di wisma kompleks pelacuran Dolly tahun 1981 (halaman 43).

Rp. 5.000,- terdapat 7 wisma.
Rp. 6.000,- terdapat 39 wisma.
Rp. 7.000,- terdapat 1 wisma.
Rp. 8.000,- dan Rp.10.000,- terdapat 1wisma

Kesimpulan, pada tahun 1981 sebagian besar wisma menarik uang sewa Rp. 6.000 per jamnya.

d.Cara penyerahan uang hasil kerja pelacur di Dolly tahun 1981 (responden 48 orang)-halaman 66.

Langsung setelah selesai melayani tamu, 22 responden.
Pada malam hari setelah tutup wisma, 9 responden.
Keesokan harinya, 3 responden.
Satu minggu sekali, 6 responden.
Dua minggu sekali, 3 responden.
Satu bulan sekali, 1 responden.
Kalau akan pulang/ hendak membeli sesuatu saja, 4 responden.


MESIN SEKS BAGI SANG GERMO (halaman 58).

Akan dikutipkan sebagai berikut:

"Kalau melayani "tamu" harus baik. Kalau wisma ini sepikamu semua mau makan apa?" begitu kata sang "papi" di hadapan anak buahnya saat "briefing" di tengah malam.
Pelacur yang menjadi penghuni wisma-wisma di daerah kompleks pelacuran "Dolly" dibebani banyak peraturan dengan tujuan agar wisma tidak menjadi sepi.
Pola hubungan sosial antara germo dan pelacur ditandai oleh semacam sikap eksploitatif. Para germo seolah-olah menganggap anak buahnya adalah "mesin seks" yang bisa dipakai tanpa mengenal lelah. para germo tidak memperkenankan anak buahnya menolak setiap ajakan  tamu untuk "masuk" kamar. Tetapi, kadang kala tanpa diketahui sang germo, para pelacur menolak ajakan tamu dengan berbagai alasan, umumnya karena mereka merasa tamunya tidak semuai dengan seleranya.

Syarat agar dapat diterima menjadi penghuni wisma tidaklah rumit (halaman 58):

1.Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2.Surat keterangan dari lurah desa asal.
3.Surat cerai resmi bagi yang pernah menikah.

Namun pada praktiknya tanpa ini semua juga dapat diterima.