Kamis, 15 Agustus 2013

KALAMA SUTTA DAN BAHAYANYA PENALARAN LOGIS

KALAMA SUTTA DAN BAHAYANYA PENALARAN LOGIS

Artikel Dharma ke-23, Agustus 2013

Ivan Taniputera
13 Agustus 2013




Untuk menjawab pertanyaan ini, silakan lihat gambar di atas. Seorang pemburu menembakkan senapannya secara horizontal dengan ketinggian h dari tanah. Pada saat bersamaan dengan meluncurnya peluru dari senapan, seekor kera melepaskan pegangannya dari dahan pohon yang juga sama-sama berketinggian h dari tanah. Apabila pengaruh hambatan udara diabaikan, manakah yang akan mencapai tanah terlebih dahulu, kera atau peluru?

Ada orang menjawab kera karena jarak lintasan yang ditempuhnya ke tanah lebih pendek. Ada yang menjawab peluru, karena berasumsi bahwa peluru lebih cepat gerakannya.

Namun semuanya adalah jawaban yang keliru. "Logika" tanpa memahami hukum-hukum yang melandasi bekerjanya segala sesuatu berpeluang membawa kita pada kesalahan.

Keduanya akan tiba di tanah pada saat bersamaan. Bagaimana bisa demikian, kita akan menyusun persamaan geraknya masing-masing.

Peluru akan bergerak membentuk parabola, sehingga kita harus menguraikan gerakannya menjadi sumbu x dan y.
Agar mudah sumbu x adalah sumbu horizontal yang mengarah ke kanan. Sumbu y adalah sumbu vertikal yang mengarah ke bawah.

Persamaan geraknya adalah:

Sumbu y - komponen vertikal:

ay (t) = g = konstan
vy (t) = g.t
y (t) = 1/2 gt2

Sumbu x - komponen horizontal:

ax (t) = a
vx (t) = vo + at
x (t) = vo.t + 1/2.a.t2

Peluru akan mencapai tanah bila y(t) = h

Maka h = 1/2.g.t2. Jadi peluru akan mencapai tanah setelah t = akar (2.g.h). Perhatikan bahwa kecepatan peluru mencapai tanah tidak ditentukan oleh massanya. Massanya besar atau kecil jika dijatuhkan dari ketinggian (h) yang sama, akan sama-sama tiba di tanah dalam waktu t = akar (2.g.h). Jadi massa yang lebih besar tidak jatuh lebih cepat ketimbang yang massanya lebih kecil. Berapapun kecepatan horizontal peluru, tidak ada pengaruhnya pada komponen vertikal, termasuk ketinggian.

Kita beralih pada kera. Kera hanya memiliki komponen gerak pada sumbu y, sehingga persamaan geraknya sama dengan persamaan gerak sumbu y pada peluru:


ay (t) = g = konstan
vy (t) = g.t
y (t) = 1/2 gt2

Begitu pula kera akan mencapai tanah jika y(t) = h. Jadi hasilnya adalah sama-sama t = akar (2.g.h). Artinya baik kera maupun peluru akan tiba pada saat bersamaan.

Pertanyaan di atas sekali lagi membuktikan bahwa penalaran logis yang dilakukan oleh pikiran kita tidaklah selamanya dapat diandalkan. Pikiran kita masih terselubungi oleh banyak kilesha, sehingga bukanlah wahana yang selalu dapat diandalkan. Meskipun merasa telah memberikan jawaban "logis" namun pada kenyataannya jawaban-jawaban tersebut bisa salah. Oleh karenanya, janganlah mengandalkan atau melekat pada logika.

Hyang Buddha sendiri dalam Kalama Sutta menyatakan sebagai berikut:

“Wahai suku Kalama,
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah memikirkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, Petapa itu adalah guru kami’.
Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini jika dilaksanakan dan dipraktekkan, akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka kalian harus menjalankannya.
Sumber kutipan Kalama Sutta:
- Kitab Petikan Anguttara Nikaya jilid 1: “Kepada Suku Kalama”, Anguttara Nikaya III, 65). Dipilih dan diterjemahkan dari bahasa Pali oleh : Nyanaponika dan Bhikkhu Bodhi. Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh : Dra.Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati. Editor : Bhikkhu jotidhammo Thera, M.Hum. dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M.

Oleh karenanya, jelas sekali Hyang Buddha menyarankan agar kita jangan melekat pada penalaran logis kita. Hyang Buddha mengajarkan agar kita selalu mengembangkan kebijaksanaan dan jangan melekat pada penalaran kita sendiri.

Orang mungkin bertanya, "Apakah dengan demikian kita tak perlu menggunakan logika kita?" Ini adalah juga pandangan yang keliru. Manusia yang hidup di ranah dualistik biasa hanya berayun dari satu pandangan ekstrim ke pandangan ekstrim lainnya. Tidak menggunakan logika sama sekali adalah juga sisi lain dari pandangan ekstrim, dan Agama Buddha bukanlah pandangan ekstrim, melainkan mengajarkan Jalan Tengah.

Manusia boleh saja berpegang pada logika, namun harus terus menerus belajar dan mengasah kebijaksanaannya. Sains sebenarnya juga berpegang pada prinsip ini. Sains akan terus menerus melakukan riset berkesinambungan, dan bila ada hasil penelitian baru yang membuktikan bahwa konsep sebelumnya adalah salah, maka sains akan memperbaharui dirinya. Kendati demikian, banyak orang yang meskipun menyadari bahwa pandangannya keliru, tetap berpegang teguh pada kesalahannya tersebut. Apakah kita merupakan orang-orang seperti itu?

Semoga bermanfaat.