Senin, 02 Februari 2015

KRITIKAN TERHADAP KALIMAT-KALIMAT BIJAK

KRITIKAN TERHADAP KALIMAT-KALIMAT BIJAK 

.
Ivan Taniputera
1 Februari 2015
.

Saya kebetulan baru saja membaca artikel mengenai kalimat-kalimat bijak yang berisikan nasihat kehidupan. Sepintas kalimat-kalimat tersebut nampak bagus, namun jika kita cermati lebih lanjut, ternyata isinya terdapat hal-hal yang patut dikritik. Saya akan mencoba mengkritik beberapa di antaranya.

Salah satu kalimat menyatakan bahwa percuma bagi kita menjalin suatu persahabatan, apabila kita tidak hidup rukun dengan saudara kita. Sepintas memang kalimat di atas nampak "bijak, namun saya punya pendapat lain. Jika kita cermati, maka menjalin persahabatan dan hidup rukun dengan saudara itu adalah dua hal yang berbeda. Saya berpendapat bahwa kedua-duanya sama-sama penting. Meskipun kita tidak hidup rukun dengan saudara kita, apakah lalu kita tidak perlu menjalin persahabatan dengan orang lain? Apakah jika kita tidak rukun dengan saudara, maka kita harus hidup acuh tak acuh atau bermusuhan dengan orang lain? Tentu saja itu adalah logika yang kurang tepat jikalau kita tidak hendak mengatakan keliru sepenuhnya. Kendati seseorang, tidak atau belum dapat hidup rukun dengan saudaranya sendiri, maka tetaplah berguna baginya menjalin persahabatan dengan orang lain. Menjalin persahabatan pun adalah suatu  bentuk kebajikan. Terlepas dari seseorang hidup rukun atau tidak dengan saudaranya adalah tetap bermanfaat baginya hidup bersahabat dengan sesama manusia.  Menjalin persahabatan tidaklah percuma. Tentu saja yang terbaik adalah menjalin persahabatan dengan orang baik dan bijaksana. Bahkan mungkin melalui bersahabat dengan orang bijaksana justru akan menjadikan kita tertular kebijaksanaannya dan memampukan kita hidup rukun dengan saudara-saudara kita.

Kalimat berikutnya menyatakan percuma bagi seseorang bersekolah, apabila perilakunya tidak mencerminkan tata krama. Ini adalah logika atau pandangan yang menurut hemat saya sangat keliru. Sekolah atau pendidikan itu seharusnya dapat diakses oleh semua orang tanpa terkecuali. Apakah jikalau seseorang tidak bertata krama maka ia tidak boleh bersekolah? Apakah jikalau seseorang tidak bertata krama, maka apakah ia hendaknya dibiarkan tidak bersekolah? Untuk menjadikan seseorang bertata krama, maka itu bukan hanya tanggung jawab sekolah semata. Seseorang menjadi bertata krama juga karena hasil didikan orang tua dan masyarakat, bukan hanya beban tanggung jawab sekolah semata. Apakah lantas kita boleh mengatakan, percuma seseorang mempunyai masyarakat dan orang tua bila ia tidak bertata krama? Dengan demikian, pandangan "bijak" di atas nampaknya kurang tepat. Bersekolah dan tata krama adalah dua hal yang berbeda. Tiada yang percuma dengan sekolah. Setidaknya kita masih mendapatkan bekal ilmu atau wawasan yang sekiranya bermanfaat bagi kehidupan kita (tentunya bagi yang bersedia memanfaatkannya).
Kritikan selanjutnya bagi kalimat di atas adalah, tata krama merupakan sesuatu yang sangat relatif dan subyektif. Apa yang dianggap bertata krama oleh suatu bangsa, maka bisa jadi tidak demikian pada bangsa atau masyarakat lain. Jadi seseorang bisa dianggap bertata krama oleh suatu masyarakat namun tidak oleh bangsa atau masyarakat lain. Tata krama juga merupakan sesuatu yang bisa saja berubah seiring berlalunya waktu.
Namun saya tidak mengatatakan bertata krama tidaklah penting. Saya tetap menganjurkan agar kita semua menjalankan tata krama sesuai dengan masyarakat tempat kita hidup. Di situ bumi dipijak di sana langit dijunjung.


Kalimab berikutnya menyatakan percuma bagi seseorang menjadi terpelajar, apabila berperilaku angkuh atau sombong. Antara perilaku sombong/ angkuh dan sikap terpelajar tidak ada korelasinya. Sebelumnya agar tidak terjadi perdebatan yang tidak perlu, maka saya jelaskan dahulu bahwa "terpelajar" artinya mempunyai pengetahuan yang sesuai dengan bidangnya. Seseorang dikatakan "terpelajar" dalam ilmu teknik mesin, jikalau ia mempunyai pengetahuan-pengetahuan memadai yang dapat menunjang pekerjaannya sebagai seorang insinyur permesinan. Selama ia mempunyai pengetahuan-pengetahuan tersebut, maka ia akan sanggup melakukan pekerjaannya sebagai seorang insinyur mesin, entah ia berperilaku sombong atau tidak.  Tetapi sebagai seorang insinyur kita hendaknya tetap terbuka menerima pengetahuan-pengetahuan baru, karena pengetahuan yang disebut memadai pun akan terus berkembang. Teknik itu tidaklah statis namun dinamis.

Selanjutnya percuma kepintaran seseorang apabila ia bertindak seenaknya. Bertindak seenaknya itu maksudnya bagaimana? Kekurang-tepatan dari kalimat ini segera tampak nyata. Orang pintar jelas tidak bertindak seenaknya. Sebagai contoh, orang yang pintar teknik mesin, jelas tidak akan bertindak seenaknya sendiri, karena ia mengetahui bahwa terdapat kaidah-kaidah atau standar dalam bidang teknik mesin yang perlu dipatuhi. Kalau masih bertindak seenaknya, maka ia jelas "tidak pintar," karena belum menyadari bahwa tindakan tersebut justru akan menghambat pekerjaannya. Misalnya ia merancang mesin dengan ukuran tidak standar, maka itu akan merepotkannya dalam memilih suku-suku cadang pendukungnya.

Kemudian, percuma memohon dengan terus menerus, apabila waktunya belum tiba. Mungkin yang dimaksud adalah memohon agar keinginan kita tercapai. Kalimat "bijak" ini jelas sangat tidak tepat karena keinginan tercapai bukan dengan memohon. Agar kenyang kita harus berusaha (dengan makan) bukan hanya semata-mata memohon agar perut kita kenyang. Kalau ingin kaya atau punya uang kita harus bekerja bukan memohon agar kaya.

Percuma beramal jikalau seseorang gemar mengambil hak milik orang lain. Beramal itu sebenarnya latihan hidup untuk mengurangi keserakahan. Orang mengambil hak milik orang lain karena serakah. Logikanya jika seseorang gemar mengambil hak milik orang lain, kecil kemungkinannya ia gemar beramal. Keduanya adalah hal yang bertolak belakang. Ibaratnya mengharapkan api menjadi dingin atau es menjadi panas jika kita pegang. Justru orang yang gemar mengambil hak milik orang lain, seharusnya diajarkan beramal guna mengikis keserakahannya.

Percuma berbuat kebajikan jika gemar menuruti hawa nafsunya. Sebagaimana beramal, berbuat kebajikan pun adalah latihan spiritual atau latihan kehidupan. Bagaimana mungkin disebut percuma? Jikalau seorang gemar menuruti hawa nafsunya dikatakan percuma berbuat kebajikan, apakah ia lantas tidak perlu berbuat kebajikan? Bukankah dengan demikian keburukannya menjadi berganda? Justru orang yang gemar menuruti hawa nafsunya harus dilatih berbuat semakin banyak kebajikan. Dengan demikian, lambat laun pikirannya akan terarah menuju kebajikan. Lalu siapakah di antara kita yang sudah bebas dari hawa nafsu?

Demikianlah, tidak semua kalimat-kalimat yang disebut "kalimat kebijaksanaan" itu benar-benar "bijak." Banyak slogan yang nampak indah dan bijak, tetapi sebenarnya kosong. Oleh karenanya, kita harus tetap kritis. Jangan membuta mengikuti atau terkagum-kagum pada slogan yang terdengar "bijak" padahal sebenarnya hanya kata-kata kosong. Kendati demikian, slogan seperti itu bukannya tidak bermanfaat, melainkan sungguh berguna dalam melatih kekritisan dan kemampuan berlogika kita. Sebagai makhluk yang berakal budi marilah kita jangan enggan mengkritik sesuatu.

Semoga bermanfaat.

Salam logika!