Sabtu, 07 Oktober 2017

LAGI-LAGI SEKELUMIT PENGALAMAN DI JERMAN

LAGI-LAGI SEKELUMIT PENGALAMAN DI JERMAN
.
Ivan Taniputera
27 Agustus 2011

Pengalaman kerja di Jerman (jadi Arbeiter)
.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin kembali mengisahkan pengalaman-pengalaman saya selama di Jerman. Saya ingin menceritakan pengalaman saya bekerja paruh waktu di Jerman. Sebagai mahasiswa di Jerman, kita memang boleh bekerja paruh waktu.  Beberapa hari setelah saya tiba di Jerman dan memperoleh surat penerimaan dari Studienkolleg, saya mendaftar (anmelde) kartu pajak atau Lohnsteuerkarte. Kartu ini merupakan semacam izin kerja selama kita kuliah di Jerman. Selanjutnya bila mendapatkan pekerjaan kita dapat meminta surat dari TUSMA agar dapat melakukan penghitungan (Abrechnung) gaji beserta pajaknya. Sebelumnya saya perlu menceritakan terlebih dahulu, apa yang dimaksud TUSMA itu. TUSMA adalah semacam lembaga penyalur tenaga kerja khusus bagi mahasiswa. Kantor TUSMA pada zaman saya kuliah terletak di bagian depan TU (Technische Universitaet Berlin). TUSMA ini merupakan bintang penolong bagi para mahasiswa yang lagi bokek atau seret keuangannya. Jika membutuhkan pekerjaan, kita harus datang pagi-pagi ke TUSMA, lalu meminta nomor berdasarkan urutan kehadiran kita. Jika ada pekerjaan, maka akan diumumkan, para peminat lalu bergegas memasuki kantor TUSMA dan menunjukkan nomornya. Pemegang nomor yang lebih kecil akan menjadi pemenang dan memperoleh pekerjaan tersebut. Biasanya pekerjaan yang berat seperti membantu pindahan (Umzugshilfe) kurang diminati dan pekerjaan yang ringan misalnya mengajar bahasa Indonesia  pada orang Jerman akan menjadi rebutan. Demikianlah mekanisme TUSMA.

Baik, sekarang kembali ke cerita saya. Setelah semua surat-surat lengkap kita dapat mulai mencari pekerjaan, yang tidak harus melalui TUSMA. Salah satu bekal berharga saya dalam mencari pekerjaan adalah daftar nomor telepon perusahaan-perusahaan yang ada di Jerman. Kendati bahasa Jerman saya belum fasih, tetapi saya telah diajarkan suatu “mantra” ampuh oleh teman saya: “Kann ich bitte mit Personelabteilung sprechen?” (Dapatkah saya berbicara dengan bagian personalia?). Setelah disambungkan dengan bagian tersebut barulah kita mengatakan, “Guten Morgen. Ich bin Student und suche gerade eine Arbeit. Haben Sie vielleicht ein freies Platz fuer mich?” (Selamat pagi. Saya adalah mahasiswa yang sedang mencari pekerjaan. Apakah Anda ada pekerjaan untuk saya?). Ini adalah “mantra” yang sangat bermanfaat dalam mencari pekerjaan. Saya pokoknya menghafal saja bagaimana mengucapkan kalimat-kalimat di atas dengan benar saat menelepon satu persatu perusahaan-perusahaan dalam daftar yang diberikan kawan saya.
Pekerjaan pertama yang saya peroleh selama kehidupan saya di Jerman adalah di pabrik kopi, yang namanya saya lupa. Tetapi jenis pekerjaannya yang saya tidak pernah lupa, yaitu di ban berjalan (Fliessbahn). Secara bercanda, mahasiswa yang jarang kuliah dan kebanyakan bekerja akan digelari “Diplom Fliessbahn” (Sarjana Ban Berjalan). Tugas saya adalah meletakkan bungkusan-bungkusan kopi di atas ban berjalan itu ke atas paletnya. Tentu saja kita harus berlomba dengan ban berjalannya, karena kalau tidak bungkusan-bungkusan itu akan berjatuhan ke lantai. Sebagai konsekuensinya, pengawas orang bule yang “sangat baik hatinya” itu akan mendatangi kita. Kata-kata “pujian” akan diucapkannya pada kita. Tetapi bahasa Jerman saya waktu itu belum begitu baik, sehingga tidak mengetahui apa yang diucapkannya. Pokoknya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tentu saja, karena pertama kali bekerja, pekerjaan ini terasa berat, tetapi untungnya banyak mahasiswa Indonesia lainnya, sehingga pekerjaan jadi terasa agak ringan.

Pekerjaan lain yang sangat berat adalah membantu orang pindahan. Pekerjaan ini saya dapat dari TUSMA, gajinya memang cukup besar. Tetapi ternyata apartemen orang itu jadul sekali, tidak ada liftnya! Saya harus naik ke tingkat tiga dan menurunkan semua barangnya, memasukkan ke truk dan kembali ke tingkat tiga lagi.  Perlu diketahui, orang ini adalah seniman, sehingga barangnya kebanyakan adalah lukisan dan buku. Belum lagi barang-barang lainnya. Dapat dibayangkan betapa beratnya pekerjaan tersebut. Setelah semua barang diturunkan, kita semua naik ke truk menuju apartemen barunya. Saya berharap di sana ada lift. Tetapi astaga! Di sana juga tidak ada liftnya! Kali ini apartemen barunya di tingkat empat. Lebih tinggi satu tingkat lagi. Drama penyiksaan ini terulang kembali hanya dalam urutan mundur. Kalau tadi menurunkan barang, sekarang menaikkan barang. Gajinya memang besar. Kurang lebih sama dengan dua kali pekerjaan biasa, namun setelah itu badan saya jadi pegal semua dan ambruk selama tiga hari.

Tidak semua pekerjaan berat. Saya pernah mendapatkan pekerjaan yang sangat tidak masuk akal menyenangkannya, tetapi hanya sekali itu saja. Pekerjaan itu adalah “bertepuk tangan dan bersorak-sorak dalam acara kuis tebak kata.” Kuis seperti ini beberapa waktu yang lalu pernah marak di televisi kita. Karena kekurangan pendukung yang hadir, mereka merekrut mahasiswa agar pura-pura menjadi suporter agar acaranya kelihatan meriah. Tugas kita hanya bertepuk tangan dan bersorak sekeras-kerasnya saja. Bahkan kalau tepuk tangannya kurang keras akan dipecat! Salah seorang mahasiswa dari China terkena pemecatan karena soraknya dianggap kurang gegap gempita. Mahasiswa lainnya dengan bercanda mengatakan bahwa dipukul matipun dia tidak mau menonton acara kuis seperti itu lagi. Maklum selama delapan jam kita menonton acara yang dibuat langsung beberapa episoda tersebut. Jadi bisa dibayangkan betapa bosannya.
.
Ada lagi pengalaman lucu saya dalam bekerja paruh waktu di Jerman. Untuk menghindari pembayaran pajak yang besar, kita bisa meminjam surat izin kerja (Schein) milik teman yang jarang bekerja. Saya pernah pinjam surat izin milik seorang teman yang namanya S. J. Namun saya lupa kalau saya pinjam surat izin miliknya. Akibatnya waktu dipanggil, “Herr J...!” saya diam saja. Lalu ada pengawas mendatangi saya, “Sind Sie Herr J?” Saya waktu itu hampir saja menjawab tidak dan sejenak bingung serta diam saja. Akhirnya saya ingat bahwa saya pinjam kartu S. J. dan menjawab, “Ja...Ja.. Ich bin Herr J.” Mungkin orang bule itu terheran-heran dan berpikir, “Kok Auslaender satu ini bisa lupa namanya sendiri.” Hahahahahaha.