Selasa, 07 November 2017

KEBIJAKSANAAN PARA ULAT

KEBIJAKSANAAN PARA ULAT.
.
Ivan Taniputera.
25 Oktober 2017.
.
.


Terdapatlah sebuah negeri yang disebut Negeri Ulat. Para ulat di sana mengetahui bahwa suatu ketika, mereka dapat menjadi kupu-kupu yang indah. Meskipun demikian, tidak mustahil ada ulat yang mati sebelum sempat menjadi kupu-kupu. Itulah sebabnya, kendati tidak pernah melihat kupu-kupu mereka hanya diberitahu agar menjaga kesehatan, berlatih olah raga sebaik-baiknya, serta menjaga diri dari hewan pemangsa (predator), sehingga saat waktunya tiba mereka dapat menjadi kupu-kupu indah.
.
Suatu ketika, beberapa ulat muda yang cerdas mendiskusikan mengenai kupu-kupu. Berikut ini adalah pembicaraan mereka.
.
“Kupu-kupu konon merupakan makhluk yang sangat indah. Selain itu, ia juga dapat terbang ke mana saja. Tidak seperti kita yang hanya dapat merayap.”
.
“Betul, begitulah yang pernah kubaca dan kudengar. Kupu-kupu katanya mempunyai sesuatu yang disebut sayap. Benda tersebut sangat indah dengan corak yang konon membahagiakan pemandangan. Katanya dengan sayap itulah kupu-kupu dapat terbang ke mana saja. Rasanya enak menjadi kupu-kupu.”
.
“Kalau boleh kutambahkan. Kita semua kelak katanya juga bisa menjadi kupu-kupu lho.”
.
Nah, saya ada pertanyaan mengenai kupu-kupu? Apakah boleh kita diskusikan bersama?”
.
“Tentu saja boleh. Dengan berdiskusi kita akan menjadi makin luas wawasannya. Apakah pertanyaanmu itu?”
.
“Aku timbul pertanyaan sebagai berikut. Apakah setelah menjadi kupu-kupu kita masih ada atau tidak? Apakah dengan menjadi kupu-kupu kita akan menghilang? Apakah kupu-kupu itu ada atau tidak sehubungan dengan hal tersebut?”
.
“Hmmm....! Pertanyaan ini cukup sulit. Tetapi aku akan coba menjawabnya. Apa yang disebut ada dan tidak atau kita sebut saja konsep keberadaan itu bisa berbeda-beda dalam benak masing-masing ulat. Jika ada 1.000 ulat maka bisa saja ada 1.000 konsep tentang keberadaan pula. Bila ada 10.000 ulat maka mungkin sekali ada 10.000 konsep tentang keberadaan pula. Jadi, agak sulit menjawab mengenai ada dan tidak, karena konsep keberadaan kita masing-masing bisa saja berbeda. Apa yang menurutmu ada bisa saja menurutku tidak ada dan begitu pula sebaliknya”
.
“Menarik sekali. Bisakah engkau menguraikannya lebih jauh?”
.
“Pertama-tama, mari kita sepakati dahulu, bahwa kupu-kupu merupakan suatu ranah yang sama-sama belum kita ketahui. Kita belum pernah menjadi dan melihat kupu-kupu. Apakah engkau setuju?”
.
“Setuju sekali. Memang demikian halnya.” Seekor ulat yang dari tadi diam mendengarkan turut menyatakan kesetujuannya.
.
“Baik, mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai konsep keberadaan. Ada dan tidak itu bisa berbeda-beda tergantung cakupan pengetahuan kita. Ambil contoh, kita belum pernah ke kebun sebelah. Di sana terdapat kubis segar yang rimbun. Karena kita belum pernah ke kebun tersebut, maka kita tidak mengetahui keberadaannya. Dengan demikian, bagi kita kubis itu tidak ada. Namun, para ulat penghuni kebun sebelah akan mengetahuinya dan dengan demikian bagi mereka kubis itu ada. Kita perlu menyadari bahwa wawasan pengetahuan kita sebagai ulat masih terbatas. Apakah kita mengetahui seluruh kebun yang ada di dunia ini beserta tumbuhan apa saja yang ada di dalamnya? Tentu tidak, bukan? Itu adalah alasan pertama mengapa konsep keberadaan antar ulat bisa berbeda-beda. Apakah kalian setuju?”
.
“Sampai sejauh ini aku dapat memahaminya.”
.
“Begitu pula aku,” sahut ulat lainnya, “Kalau boleh kutambahkan sebagai berikut. Keberadaan itu juga bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu. Misalnya, saat tumbuhan kubis di kebun ini belum tumbuh, maka kita akan menganggap kubis itu tidak ada. Setelah tumbuh baru kita mengetahui bahwa kubis lezat ini ada. Jadi, ini adalah masalah waktu. Kita mempunyai keterbatasan ruang dan waktu. Demikianlah konsep keberadaan kita. Pemahaman kita mengenai ada dan tidak bisa berubah-ubah atau berkembang seiring meluasnya jangkauan wawasan kita terhadap ruang beserta waktu.”
.
“Benar, engkau telah menjelaskannya dengan sangat baik.”
.
“Banyak pula ulat yang mendasari konsepnya mengenai ada dan tidak berdasarkan apa yang dapat dicerapnya melalui indranya. Sebagai contoh, kita para ulat hanya dapat membedakan terang dan gelap saja. Kita tidak dapat melihat apa yang makhluk lain khususnya manusia sebut sebagai warna.”
.
“Maaf kupotong sebentar. Warna? Apakah itu? Aku baru mendengarnya sekarang.”
.
“Agak susah mendefinisikan warna, karena itu berada di luar cakupan pencerapan kita. Intinya adalah meski kita tidak dapat mengenal apa yang disebut warna bukan berarti itu tidak ada. Meski menurut kita warna itu tidak ada, secara realita bukan berarti warna itu benar-benar tidak ada.”
.
“Ya tepat sekali. Selain itu, kita juga memutuskan mengenai ada dan tidak berdasarkan logika kita semata. Padahal logika kita juga tidak sempurna.”
.
“Apakah maksudmu bahwa logika kita tidak sempurna? Bukanlah sesuatu yang menurut kita masuk akal atau sesuai logika kita pasti benar?”
.
“Belum tentu. Aku bertanya padamu. Jika kubis berat dan kubis ringan dijatuhkan dari ketinggian yang sama, manakah yang akan tiba lebih dahulu di tanah?”
.
“Kalau menurut logikaku adalah kubis yang lebih berat.”
.
“Tetapi logikamu keliru. Kedua kubis akan tiba di tanah pada saat bersamaan. Kalau tidak percaya cobalah.”
.
“Baiklah. Meski rasanya tidak masuk akal, aku percaya saja padamu. Engkau khan ulat pakar fisika. Lagipula, sayang sekali membanting-banting atau menjatuhkan kubis. Lebih baik kubis lezat itu kita makan saja.”
.
“Ya, intinya adalah logika atau konsep pemikiran kita bisa saja salah. Begitu pula logika terhadap sesuatu yang kita anggap ada atau tidak juga mungkin sekali keliru.”
.
“Baik, inti dari pembicaraan kita sampai sejauh ini jika kupahami adalah sebagai berikut. Konsep kita tentang keberadaan belum tentu mewakili realita sebenarnya akibat segenap keterbatasan kita. Benarkah begitu?”
.
“Benar. Konsep kita mengenai ada dan tidak memang belum tentu mewakili realita sesungguhnya. Tadi kita sudah sepakat bahwa kupu-kupu adalah suatu ranah yang masih asing bagi kita atau sangat asing malah. Jadi adalah berisiko jika kita menerapkan konsep keberadaan yang kita miliki saat ini untuk menilainya-yakni menilainya berdasarkan dikotomi ada dan tidak.”
.
“Wah sangat menarik. Aku baru sadar kalau konsep ada dan tidak itu sangat relatif.”
.
“Kita kembali pada pertanyaan awal tadi. Apakah kita masih ada setelah menjadi kupu-kupu? Jika kita mengatakan tidak ada, maka pada kenyataannya kupu-kupu itu merupakan kesinambungan dari kita. Saat kupu-kupu muncul, maka kita lenyap. Namun tidak tepat kalau mengatakan bahwa kupu-kupu itu muncul dari ketiadaan sama sekali. Tidak tepat pula mengatakan bahwa kita selaku ulat lenyap menjadi ketiadaan saat menjadi kupu-kupu. Tetapi tidak tepat pula mengatakan bahwa kupu-kupu sama dengan ulat. Kita selaku ulat tidak pernah menyebut diri kita kupu-kupu, bukan? Namun yang pasti adalah dalam diri kita terdapat suatu potensi laten untuk menjadi kupu-kupu.”
.
“Pembicaraanya mulai berat, nih.”
.
“Tidak apa-apa. Kita nikmati saja diskusi ini sambil menyantap kubis segar.”
.
“Kalau boleh kutambahkan lagi. Adalah salah juga mengatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Tadi telah dikatakan bahwa ulat bukan kupu-kupu dan kupu-kupu bukan ulat. Jadi kita juga tidak dapat mengatakan ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Kita tidak pernah menyebut kupu-kupu sebagai ulat, bukan?”
.
“Ya, setuju. Kita dan kupu-kupu punya perbedaan mendasar. Kupu-kupu punya sayap dan bebas terbang, sementara kita tidak.”
.
“Tepat. Aku pernah membaca sebuah buku di perpustakaan Negeri Ulat yang menyatakan ada dua konsep ekstrim keliru mengenai ada dan tidak ada ini. Ada yang mengatakan bahwa setelah menjadi kupu-kupu, ulat lenyap sama sekali. Ini adalah konsep ekstrim yang disebut NIHILISME. Konsep ini keliru, karena bagaimana pun juga kupu-kupu tidak muncul dari ketiadaan, melainkan ada musabab pendahulunya yang disebut ulat. Kupu-kupu ada karena ada tahapan kehidupan sebelumnya berupa ulat, yakni kita-kita ini. Kita tidak lenyap sama sekali setelah menjadi kupu-kupu karena ada semacam kesinambungan atau apa pun namanya setelah itu.”
.
“Aku pernah menguping pembicaraan di sekolah manusia. Mereka menyebut tahapan-tahapan kehidupan kita ini sebagai metamorfosa. Tetapi aku lebih suka menyebutnya sebagai transformasi. Kita tadi sudah membahas mengenai salah satu konsep ekstrim, bagaimana dengan konsep satunya?”
.
“Konsep satunya disebut ETERNALISME. Konsep ini menyatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Konsep ini juga kurang tepat, karena seperti yang sudah kupaparkan tadi, kupu-kupu bukan ulat. Jadi kita juga tidak boleh mengatakan bahwa ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu. Jikalau seandainya ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu, maka kupu-kupu itu boleh juga kita sebut ulat, bukan?”
.
“Baik. Aku paham. Jadi dikotomi ada dan tidak belumlah sanggup memaparkan keberadaan beserta ketidak-beradaan bersesuaian dengan realita sebenarnya?”
.
“Benar. Jika hanya berpedoman pada pandangan dualisme seperti itu, realita mungkin sekali tidak dapat digambarkan dengan benar dan utuh. Kita hanya akan mendapatkan gambaran sebagian-sebagian saja yang tidak sempurna. Oleh karenanya, agar mendapatkan pemahaman terhadap segenap fenomena secara utuh, kita perlu melampaui dualisme ada dan tidak, yakni dengan memandang segala sesuatu sebagaimana adanya. Contohnya adalah ulat dan kupu-kupu tadi. Jika, ulat tidak ada setelah menjadi kupu-kupu, maka tidak adanya bagaimana. Apabila ulat tetap ada setelah menjadi kupu-kupu, maka adanya bagaimana. Itulah sebabnya, sekedar mengatakan ada dan tidak sangatlah tidak memadai dan terlalu menyederhanakan permasalahannya. Namun untuk pembicaraan atau komunikasi sehari-hari antar para ulat tentunya tidaklah masalah”
.
“Mungkin kini tibalah saatnya membahas apakah setelah kita menjadi kupu-kupu, kupu-kupu tersebut dapat disebut ada atau tidak?”
.
“Ini adalah pertanyaan sangat sulit dan telah menimbulkan perdebatan selama berabad-abad. Lalu bagaimana cara kita menjawabnya? Kembali pada apa yang sudah kita bicarakan tadi. Konsep kita mengenai ada dan tidak sangatlah terbatas dan bersifat relatif antara satu ulat dengan ulat lainnya. Sebenarnya adalah berisiko menerapkan konsep-konsep bentukan pikiran kita selaku ulat ini yang masih bersifat relatif dan terbatas terhadap ranah yang sama sekali belum kita kenal.”
.
“Wah seru. Mari lanjutkan pembahasannya.”
.
“Kalau kita sebut kupu-kupu itu ada, maka kita akan menggunakan konsep kita sendiri mengenai keberadaan untuk menganggapnya ada. Sebaliknya, jika kita menyebutnya tidak ada, maka kita akan menggunakan konsep kita sendiri mengenai ketidak-beradaan untuk menganggapnya tidak ada. Akhirnya semua itu akan berpulang kembali pada permainan konsep dalam benak kita sendiri, dimana sekali lagi sangat mungkin bahwa seluruh konsep tersebut tidak mencerminkan realita sebenarnya. Pada akhirnya, kita hanya terjerumus pada jurang konsep-konsep saja. Kita memang cenderung menilai atau memahami sesuatu berdasarkan konsep-konsep yang ada dalam benak kita sendiri, terlepas dari konsep itu sungguh bersesuaian dengan realita atau tidak.”
.
“Betul. Aku paham. Misalnya aku menyebut kubis di kebun ini enak, itu artinya aku sedang menerapkan konsepku tentang kelezatan terhadap kubis tersebut. Kalau aku menyebut kubis di kebun sebelah tidak enak, maka aku sedang menerapkan konsepku sendiri mengenai ketidak-lezatan terhadap kubis kebun sebelah. Ulat lain mungkin mempunyai konsep yang berbeda.”
.
“Jika kita hendak menjawab pertanyaan apakah kupu-kupu itu ada, maka kita harus melampaui segenap konsep kita yang terbatas. Bila tidak, maka salah-salah apa yang kita pahami tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep NIHILISME atau ETERNALISME sebagaimana telah kuuraikan sebelumnya. Berhati-hatilah, konsep-konsep itu sangat halus dan bisa menjebak.”
.
“Jadi bagaimana seharusnya.”
.
“Kalau menurut pendapatku sebagai berikut. Kalau kita terpaksa hendak menyebut kupu-kupu sebagai ada, maka gunakanlah ada dalam tanda petik (“ada”). Artinya meski “ada,” tetapi “keberadaan” itu bukanlah dalam artian konsep konvensional mengenai keberadaan yang sudah bercokol dalam benak kita masing-masing. Sebaliknya, jika kita terpaksa hendak menyebutnya tidak ada, maka gunakanlah tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada”). Artinya meski “tidak ada,” tetapi “ketidak-beradaan” itu bukanlah seperti konsep konvesional mengenai ketidak-beradaan yang sudah bercokol dalam benak kita masing-masing. Jadi ada dalam tanda petik (“ada”) dan tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada) seluruhnya adalah pemahaman yang melampaui seluruh konsep konvensional kita mengenai ada dan tidak ada. Itulah sebabnya, tidak bertentangan satu sama lain. ”
.
“Aku jadi agak bingung. Seperti apakah pemahaman yang melampaui seluruh konsep konvensional mengenai ada dan tidak ada itu?”
.
“Kita sendiri masih bergerak dalam konsep-konsep konvesional tersebut dan belum melampauinya. Jadi, kita hanya mengetahui sampai sebatas itu saja. Inilah batas dari apa yang dapat kita ulas. Ibaratnya, jika kita belum pernah ke kebun sebelah, maka kita tidak akan mengetahui dengan utuh kebun itu seperti apa. Kita harus memasuki kebun sebelah terlebih dahulu barulah dapat mengetahui kebun tersebut sebagaimana adanya. Begitu pula, kita harus sanggup mencapai suatu wawasan pemahaman yang melampaui segenap konsep konvensional terlebih dahulu barulah mengetahui seperti apakah wawasan tersebut seutuhnya. Aku sendiri belum sanggup. Jadi aku hanya dapat menguraikan sampai sebatas ini saja.”
.
“Kesimpulannya, kita boleh menyebut kupu-kupu itu ada dalam tanda petik (“ada”) dan tidak ada dalam tanda petik (“tidak ada”), dimana kedua hal itu sama sahihnya?”
.
“Benar. Karena “ada” dan “tidak ada” jika dipahami melampaui konsep konvensional kita tidaklah bertentangan. Pada tataran yang melampaui segenap konsep, maka ada dan tidak ada akan kehilangan relevansinya. “Ada” adalah “tidak ada” dan “tidak ada” adalah “ada.” Ingat jangan lupa gunakan selalu tanda petik. Hanya sampai sejauh ini yang dapat aku bahas.”
.
“Terima kasih banyak untuk diskusinya. Saya harap pada kesempatan lain kita dapat melanjutkan diskusi ini atau membahas topik lain yang juga menarik. Aku pamit pulang dulu.”
“Baik. Hati-hati di jalan. Aku juga mau pulang.”